Tag : Cerita Swinger , Cewek Bispak , Cerita Dewasa , Cantik
, Cewek , Sex , Panas , Tukar Pasangan ,
Perek , Selingkuh
Amanda
#KEVIN
Namaku Kevin. Isteriku bernama Amanda, dia selalu membuatku
merasa bangga karena memilikinya. Ya bangga karena semua pria akan berhasil dia
paksa untuk menolehkan kepala jika dia lewat dihadapan mereka. Kebanyakan
temanku mengeluhkan bagaimana membosankannya isteri mereka dalam urusan seks.
Mereka jarang mendapatkan oral seks, para isteri mereka
sangat jarang berpakaian sexy lagi. Dan kebanyakan dari mereka, contohnya Tom
dan Boby, seks hanya berlangsung diakhir pekan saja. Itu jauh lebih baik
dibandingkan kadang hanya sekali dalam sebulan saja.
Itu juga terjadi diantara Amanda dan aku sebelum semuanya
berubah akhir-akhir ini. Ketika Boby bertanya padaku minggu lalu tentang berapa
sering kami berhubungan seks, aku berbohong. Kukatakan padanya kami
melakukannya sekali seminggu.
Dia menjawab hal yang sama, mengungkapkan simpatinya
terhadapku. Aku tak bisa mengatakan yang sebenarnya kepadanya. Jika dia
mengetahui bahwa sesungguhnya Amanda dan aku berhubungan seks tiga sampai empat
kali dalam seminggu, dia akan mendesakku untuk mencari tahu apa rahasianya.
Dan tak akan mungkin kukatakan kepadanya kenyataan
sesungguhnya. Bisa kukatakan kepadamu rahasiaku. Ini aman, karena kamu tak
mengenalku ataupun Amanda. Kamu tak tahu tempat tinggalku atau apapun. Lagipula
ini semua terdengar kurang masuk akal. Bahkan temanku sendiri mungkin tak akan
mempercayaiku, tapi aku tak peduli apa kamu percaya atau tidak.
Sikap Amanda terhadap seks mulai berubah semenjak malam itu.
Ya, mungkin terlalu berlebihan, yang kumaksudkan adalah, coba lihat kebelakang,
aku menganggap kejadian tersebutlah penyebab dari perubahan sikapnya. Kejadian
apa? Mungkin itu yang kamu tanyakan. Sebuah kencan. Ya. Kencan biasa… dengan
pria lain.
Pria lain tersebut klien bisnis perusahaan kami, Mr.
Charles. Aku tak terlalu mengenalnya, tapi kupikir dia seorang pria paruh baya
yang menarik juga. Mungkin bisa dibilang sedikit gemuk dan rambutnya mulai agak
botak di bagian depannya.
Dia terbang ke kota
ini untuk mengurusi sebuah kontrak yang besar dengan perusahaan kami. Aku bukan
termasuk dalam posisi eksekutif, tapi aku berteman akrab dengan beberapa
direktur utama. Salah satunya bernama Henry, dia bertanya padaku apakah aku
punya kenalan seorang wanita yang bisa menemani Mr. Charles berkeliling kota
selama dia berada disini. Henry mulai merasa khawatir.
Dia sudah menghubungi semua kolega yang dia tahu tapi tak
ada yang bisa untuk saat itu dan dia mengatakan padaku bahwa dia akan merasa
sangat berterima kasih bila aku bisa membantunya. Aku coba menghubungi beberapa
kandidat yang kutahu, namun mereka juga sedang sibuk disaat tersebut. Saat
kuceritakan pada Amanda, dia bertanya kenapa syaratnya harus wanita yang masih
single.
“Kamu tidak mencoba untuk mengirim seorang wanita nakal pada
klienmu ini kan ?”
“Tidak, hanya seseorang untuk menemaninya berkeliling.
Seseorang yang tahu tempat makan yang enak, tempat yang layak untuk dikunjungi,
sesuatu seperti itulah.”
“Kalau ini memang sangat penting untukmu, aku mau
melakukannya.”
“Ini bukan seperti penentu hidup atau mati… tapi ini akan
memberikan sebuah penilaian yang sangat baik buatku dihadapan salah satu
bossku. Tapi, sejujurnya, sayangku, Aku merasa tak nyaman untuk mengijinkanmu
melakukannya. “
“Kenapa tidak? Aku mengenal setiap bagian kota
ini seperti yang lainnya, dan penampilanku tak mengecewakan untuk dilihat
bukan?”
Kutelan ludah atas statemen terakhir. Amanda sangat indah
dipandang mata. Tubuhnya langsing semampai, buah dada yang terlihat tepat untuk
ukuran tubuhnya, paha yang indah, pantat menggoda, rambut berombak sebahunya
yang tergerai eksotis.
Tak pernah terlintas dibenakku untuk membayangkan Amanda
yang harus menemani Charles untuk semalam, Tapi seperti yang dia katakana,
kenapa tidak? Dia pilihan yang sempurna. Dia pintar membangun pembicaraan.
Charles akan dapat menikmati keindahan kota
ini dengan ditemani oleh seorang wanita yang mempesona. Dan itulah yang
terjadi, Amanda serius akan hal tersebut, seperti yang biasa dia lakukan. Dia
terlihat sangat menawan malam itu.
Sesungguhnya, agak sedikit terlalu seksi, kuingat aku
katakan hal tersebut malam itu. Make-up yang dia pakai sedikit berlebihan dari
biasa yang dia pakai sehari-harinya.
Gaun yang dia kenakan memperlihatkan bentuk payudaranya yang
indah dan kencang serta membungkus perut dan pinggulnya dengan sangat ketat,
serta sepasang stocking dan sepatu bertumit tinggi. Charles pasti akan sangat
senang, tak akan kuragukan lagi.
“Jaga kelakuanmu,” kugoda dia. Dahinya mengernyit, merasa
dilecehkan.
Kujelaskan padanya kalau aku hanya bercanda saja. Aku tahu
kalau dia melakukan ini hanya demi aku saja. Dia telah melihat foto Charles,
jadi dia tahu dia bukanlah seorang buruk rupa meskipun dia juga tahu kalau pria
yang akan ditemuinya nanti bukanlah seorang yang rupawan.
Kencan tersebut akhirnya datang dan terjadi. Sesudahnya,
Amanda menceritakan padaku kalau Charles sangat menikmati malam tersebut.
Akupun akan merasa begitu, dan kudapat sebuah telephone dari Charles hari Senin
keesokan harinya.
“Hey pak, wanita yang bapak kirim untuk menemaniku, si
Amanda, sangat mengagumkan.” Aku tak merasa perlu memberi tahunya kalau yang
menemaninya berkeliling kota adalah
isteriku sendiri. “Wah, dia wanita yang sangat sexy! Tapi aku yakin anda sudah
pasti tahu itu,” sambungnya. Dengan cepat berikutnya kutahu kalau Charles telah
mencoba mengajak Amanda untuk singgah ke kamar hotel bersamanya.
Isteriku menolaknya dengan halus dan mengucapkan terima
kasih. “Mungkin lain kali jika anda berada dikota ini lagi, kita bisa saling
mengenal lebih dekat lagi. Itu yang dia katakan. Sialan! Aku tak sabar
menunggunya,” Charles menceritakan padaku, nada suaranya mengisyaratkan betapa
semangatnya dia.
Kuceritakan pada Amanda tentang telephone tersebut dan apa
yang dikatakan Charles. Dia menatapku dan menyeringai lebar. “Ya, aku memang
berkata begitu. Aku tak bermaksud apa-apa. Aku hanya tak ingin dia merasa sedih
dengan dirinya. Dia terus merayuku sepanjang malam dan aku hanya ingin
membuatnya tak terlalu merasa ditolak. Kamu tahu kan ,
kubiarkan dia mengira kalau aku menganggapnya menarik. Merasa dia bangga dengan
dirinya.”
“Oh, dari yang dia katakan, kukira kamu sangat sukses.”
“Well, itu hanya sedikit godaan yang tak ada ruginya.
Lagipula, aku tak akan bertemu lagi dengannya kan ?”
Amanda tertawa. “Kamu tidak jealouskan sayang?”
Kuyakinkan dia bahwa aku tak merasa cemburu dan lalu
kusergap lehernya dengan bibirku.
“Apa kita merasa sedikit bergairah malam ini?” dia tertawa
genit, menggapai ke bawah untuk memeriksa kondisi selangkanganku.
Dia temukan jawabannya saat mencengkeramkan jemarinya pada
tonjolan dicelanaku. Berikutnya kami memadu cinta dengan gairah yang hampir
kulupakan, permainan cinta kami memang terjadi hanya sebagai rutinitas saja
dalam tahun belakangan ini.
***
Hampir satu bulan berikutnya aku dapat sebuah telephone dari
Charles. Dia akan datang ke kota
ini dalam beberapa hari dan dia menanyakan padaku apakah aku bisa mengusahakan
agar Amanda bisa menemaninya lagi. Kukatakan padanya kalau aku tak yakin bisa
menghubunginya, Amanda sangat sibuk, terangku padanya, berusaha untuk mencegah
isteriku bisa bersamanya lagi. Khususnya setelah apa yang sudah dia katakan
tentang isteriku.
“Dia tidak memberiku nomer telephone-nya,” Charles
mengerang. “Aku sangat berharap dia tidak membohongiku. Aku benci itu. Saat
seorang wanita mengatakan padamu apa yang ingin kamu dengar, dan dia cuma iseng
saja. Apa kamu tak merasa kesal juga?”
“Ya, aku juga benci diperlakukan seperti itu,” jawabku dan
kemudian berjanji untuk berusaha menghubungi ‘si sexy Amanda’.
“Tentu aku mau bertemu dengannya lagi, sayangku,” Amanda
mengatakan padaku dengan acuh tak acuh saat dinner malam. “Apa ruginya?
Lagipula dia seorang klien yang penting, kan ?”
“Ya memang. Tapi, aku hanya merasa kalau dia menginginkanmu
agar mau diajak ke kamar hotelnya kali ini. Bukankah kamu membuatnya merasa
kalau kamu akan bersedia jika ada kesempatan lain?”
“Sayang, itu hanya taktik wanita saja. Semua pria suka disanjung
dan digoda. Kamu juga kan ? Aku
sering melihatmu dipesta saat ada seorang wanita yang memujimu. Ingat Bertha
yang mengundangmu untuk menggantikan tempat Roger suaminya, setiap saat
suaminya sedang pergi ke luar kota ?”
“Dia hanya bercanda dan kamu tahu itu.”
“Begitu juga aku, sayang. Itu poin yang kumaksud.”
Akhirnya kuhubungi Charles dan mengatakan padanya kalau
Amanda bisa menemuinya hari Sabtu nanti. Dia sangat senang sekali. Dan Amanda,
yang membuatku terkejut, terlihat bahagia karena akan berkencan dengannya lagi.
***
“Apa dia seorang yang suka merayu?” tanyaku saat dia sedang
berdandan malam itu.
“Semua pria begitu kan ?”
jawabnya, mencoba memilih gaun yang akan dipakainya. Punggungnya menghadap ke
arahku. Dia berdiri disana dengan hanya memakai bra dan celana dalam. Sepasang
pakaian dalam yang sexy, berenda dan hampir transparan. Sebuah lingerie yang
aku hampir lupa kalau dia memilikinya.
Biasanya, Amanda memakai pantyhose diatas celana dalamnya.
Kali ini tidak. Kali ini dia memakai sepasang stocking hitam setinggi paha. Aku
akan mulai berkomentar, tapi kupikir dia hanya akan menganggapku merasa cemburu
saja. Sekali lagi dia terlihat sangat menawan untuk kencannya dengan pria yang
baru saja dia kenal. Gaunnya melekat erat ditiap lekuk tubuh sexy-nya dan
belahan dadanya agak sedikit rendah, mempertontonkan sedikit belahan buah
dadanya. Menggiurkan dan sexy.
“Jaga dirimu,” pesanku, memberinya sebuah kecupan saat dia
mengamati dandanannya, sepatu bertumit tinggi dan sebagainya, pada sebuah cermin
di lorong.
“Berhentilah mengkhawatirkanku, sayang. Aku akan baik-baik
saja,” dia meyakinkanku, memberiku pelukan ringan yang menempelkan payudara
kencangnya pada tubuhku.
Jika Charles menyambutnya dengan sebuah pelukan, dia juga
akan merasakan payudara sexy Amanda. Kuterus memikirkan hal itu sepanjang waktu
saat isteriku pergi malam itu. Aku juga membayangkan paha jenjangnya dan
stocking hitamnya dan pakaian dalam indah dan sexy yang dia pakai. Sebuah paket
yang sangat menggoda, dan itulah yang mencemaskan perasaanku.
Tapi kemudian aku juga mengingatkan diriku sendiri tentang
seks yang hebat yang kualami bersama Amanda setelah malam pertama kencannya
dengan Charles. Aku berharap kejadian itu berulang kembali, itulah mungkin
sebabnya aku tak begitu meributkan tentang apa yang dipakai Amanda untuk
kencannya dan kenapa aku mengijinkannya pertama kali. Ya, kenyataannya memang
begitu. Sex dengan Amanda begitu mempesona, dan itu bahkan lebih panas dari
sebelum-sebelumnya.
Aku jatuh tertidur di depan televisi diruang keluarga dan
tak mendengar suara mobilnya diparkirkan. Tapi telingaku mulai mendengar saat
suara tumit sepatunya melangkah melewati lantai kayu dalam ruang keluarga ini.
Kutolehkan kepala kearahnya, Tuhan, dia terlihat sangat sexy! Gaunnya terlihat
lebih pendek dari yang kuingat. Pinggulnya seakan menari saat dia berjalan. Dia
terlihat lebih muda saat ini. Terlihat begitu hidup. Payudaranya terayun
seiring tiap langkahnya.
“Jam berapa sekarang?” tanyaku padanya, aku duduk diatas
sofa.
“Kurasa, Setengah dua.”
“Aku pasti tertidur menunggumu.”
“Sorry, sayang. Mestinya aku pulang lebih awal.”
“Ya, mungkin.”
Amanda duduk disampingku. “Setelah nonton dan dinner,
Charles mengajak untuk mencoba beberapa club & bar.”
“Bagaimana caramu berkilah saat dia mengajakmu kembali
kehotelnya? Dia mengajakmu, kan ?”
Aku pun akan berlaku sama, Amanda terlihat begitu menggiurkan untuk disantap.
Dia letakkan tangannya di pahaku dan meremasnya pelan. “Wah,
dia sangat gigih, sayang, dan akhirnya aku tak bisa mengelak lagi, aku mau
diajaknya pergi ke kamarnya.”
Kupandangi isteriku dengan perasaan yang bercampur baur.
“Sayang, ini bukan seperti kedengarannya. Sama sekali tak
terjadi apapun.”
“Sama sekali?”
Amanda tersenyum dan membelai pahaku. “Sayang, jika aku
ingin menyetubuhinya, akan kulakukan saat itu.”
Sudah lama Amanda tak mengucapkan kata persetubuhan, itu
mengejutkanku pertama kalinya.
“Dia menginginkannya. Itu mungkin tak mengejutkanmu, bukan?“
Kugelengkan kepala.
“Kukatakan padanya jangan bertanya tentang sex. Kukatakan
padanya kalau aku sudah menikah.”
“Sungguh?”
Amanda memberiku sebuah senyuman iblis kecilnya.
“Apa dia mencoba yang lain? Apa dia mencoba menciummu?”
Kembali Amanda tersenyum. “Memang.” Lalu setelah jeda yang
panjang, menambahkan. “Dan kubiarkan dia.”
“Kamu biarkan dia menciummu?”
“Ya, sayang. Kupikir setelah dia tak mendapatkan sex yang
dia mau, setidaknya yang bisa kulakukan adalah memberinya sebuah ciuman.”
Kupandangi dia dengan takjub, dan dia membungkuk ke arahku,
daging payudaranya menekan tubuhku, dan lalu dia berkata “Itu hanya sebuah
ciuman sayang, seperti ini.”
Bibirnya begitu hangat dan sensual… dan sedikit terbuka.
Bibir kami saling melumat dan dengan cepat lidahnya mulai mencari jalan masuk
ke dalam mulutku. Ciuman lembut dan erotis berubah menjadi ciuman yang penuh
gairah yang mengirim gelombang darah ke sepanjang batang penisku. Aroma Amanda
begitu nikmat dan tubuhnya sangat sexy dan mengundang.
“Wow! Seperti ini?” kucoba bertanya setelah kami hentikan
ciumannya.
Amanda tertawa manja. “Kurang lebih.”
“Apa dia mencoba menyentuhmu?”
“Hanya dadaku.” tawa manja lebih banyak dia perdengarkan.
“Apa reaksimu?”
“Sayang, hanya dadaku saja. Tangannya tidak berada dalam
celana dalamku… atau yang lainnya.”
“Jadi kamu biarkan dia… menyentuh payudaramu?”
“Sayang, aku masih memakai gaunku.”
Kuangkat tanganku dan membelai payudara isteriku. ‘Hmm,
seperti yang kukira.”
“Apa?”
“Gaun ini… sangat tipis… bisa kurasakan putingmu tepat
dibaliknya.”
Amanda tertawa. “Dan kamu pikir Charles bisa merasakannya
juga?”
“Aku yakin itu. Bukankah dia merasa terangsang?”
“Kenyataannya, begitu.”
“Bagaimana kamu tahu? Apakah terlihat?”
“Aku mengetahuinya saat kulakukan ini… ” Amanda kemudian
meluncurkan tangannya hingga pangkal pahaku dan mulai meremas ereksiku.
“Kamu meremas PENISNYA!”
“Sayang, aku hanya menggodamu. Tentu saja tidak. Kamu
suamiku. Satu-satunya pria untukku!” tubuhnya turun keatas lantai dan
menurunkan resleitingku. Astaga! Sudah sangat lama sekali dia tak bersikap
seperti ini… begitu agresif dan terang-terangan. Amanda menjilat dan menghisap
penisku hingga kuberada dibatas orgasme dalam mulutnya.
“Ayo ke kamar, sayang,” saranku, dan isteriku langsung
menyambutnya.
***
Keesokan harinya di kantor, aku dihubungi Charles. “Hey
bung, kamu tidak bilang kalau Amanda sudah menikah.”
“Aku pikir itu tak jadi masalah, Sorry.”
“Oh, tak usah minta maaf. Menikah atau tidak, dia
benar-benar wanita yang sangat hot.”
Kata-kata Charles mengguncangkanku. Itu tak sama dengan
versi Amanda malam itu. Aku tak ingin terdengar curiga, tapi aku harus bertanya
“Jadi kalian berdua bersenang-senang tadi malam?”
“Oh, bung, sangat! Kami jadi pusat perhatian kemanapun kami
pergi. Para pria meminta ijinku untuk bisa berdansa
dengannya, kutolak mereka, tapi dia bilang aku egois dan mau menang sendiri.
Jadi begitulah, dia pergi ke lantai dansa dan mulai menari dengan dua atau tiga
pria berbeda. Aku tak begitu pintar dansa, jadi dia menikmati tariannya dengan
para pria itu. Dia sungguh menikmati gerakan tubuhnya.”
Kudengar ceritanya berulang-ulang tentang bagaimana Amanda
jadi bergairah karena dansanya dan minumannya. “Setiap kali dia kembali ke
meja, dia jadi lebih bergairah… dia remas pahaku… terus meraba pahaku…
membuatku sangat keras!”
“Benarkah?” jawabku, mencoba menahan rasa marahku.
“Oh, iya. Dan kali ini, saat kuajak dia kembali kekamar
hotelku, dia langsung menerimanya.”
“Wah, aku senang anda mendapatkan malam yang hebat Charles.”
“Sesungguhnya terhebat dalam hidupku, Kev. Ngomong-ngomong,
kamu kenal Amanda kan ? Apa kamu
pernah mengencaninya?”
Tentu saja aku bohong.
“Ah, sayang sekali. Wanita ini sungguh istimewa!”
Aku ingin lebih menanyainya, tapi itu akan terlihat janggal.
Aku coba untuk memancingnya, agar dia menceritakan segalanya, tapi tentu saja
dia tak akan mengatakan detail sesungguhnya dari apa yang terjadi di dalam
kamar hotelnya.
Apakah Amanda hebat? Aku ingin bertanya. Apakah dia pasangan
sex yang hebat? Tapi kata-kata Amanda terus mengiang ditelingaku. Aku bersikap
terlalu berlebihan. Dia hanya bersikap menggoda, sedikit berlebihan. Tapi hanya
itu saja. Charles hanya merasa sangat gembira karena sudah berkencan dengan
isteriku yang sexy. Dan, menimbang betapa hebat kehidupan sex kami semenjak isteriku
melakukan dua kencan tersebut, aku yakin, merasa bersukur telah mengijinkannya
pergi.
***
#AMANDA
Namaku Amanda, andaikan aku seorang wanita religius, tentu
sudah terlalu banyak menghabiskan waktu dalam bilik pengakuan dosa…
Suamiku, Kevin memintaku untuk bertemu dengan salah seorang
kliennya yang berada di kota ini.
Seorang klien penting yang sangat menentukan sebuah kontrak besar yang sedang
diperebutkan perusahaannya saat itu. Hanya menjamunya dengan sebuah dinner
bersamanya dan menemaninya berkeliling kota .
Hanya itu saja. Namun semakin kupikirkan itu semakin terasa pula bagaikan
sebuah kencan. Sebuah kencan seperti saat kubelum menikah. Dan kujawab, ya aku
bersedia memenuhi permintaannya dan aku berdandan secantik dan semenarik
mungkin untuk acara tersebut.
Dan segala yang kubayangkan menjadi kenyataan. Disini
kuberada, dalam sebuah taksi yang tengah menyusuri jalanan kota
dimalam itu dengan seorang pria, mungkin berumur beberapa tahun lebih tua dari
Kevin, namun dia seorang gentelman sejati. Namanya Charles, berulang kali dia
memuji kecantikan wajahku, betapa dia mengagumi keindahan rambut sebahuku, gaun
yang kukenakan. Dia begitu merayu dan memperlakukanku layaknya seorang puteri.
Semua perlakuannya sungguh membuatku merasa sangat istimewa.
Dipenghujung malam itu, dia mengundangku singgah ke kamar
hotelnya untuk berbincang sebentar sebelum mengantarku pulang. “Hanya minum
saja,” dia coba membujukku. Namun kutolak ajakannya. Kuingatkan dia, kesannya
tak baik jika aku masuk ke kamar hotelnya dimalam yang telah larut ini.
Jujur aku merasa suka menghabiskan waktu malam tersebut
dengannya dan tak bisa kucegah anganku membayangkan bagaimana rasanya jika
berhubungan seks dengannya. Kevin adalah pria kedua yang pernah menikmati
tubuhku, jadi bisa dikatakan aku tak memiliki begitu banyak pengalaman dalam
kehidupan seksual. Bayangan itu menggelitik minatku, entah kenapa aku bisa
membayangkan hingga sejauh itu.
Saat aku tiba dirumah malam itu, aku benar-benar berada
dalam mood untuk sebuah permainan cinta dan syukurlah Kevin juga sedang
merasakan hal yang sama pula.
***
Jikalau kisah ini hanya berhenti hanya disini saja, tak akan
banyak yang kuungkapkan dalam pengakuan dosaku, dan memang ini tak hanya
berhenti di malam itu saja. Aku mempunya janji kencan kedua dengan Charles
beberapa minggu setelahnya, dan untuk sebuah sebab, membayangkan kencan keduaku
bersamanya membuatku sangat bersemangat, bahkan sedikit bergairah. Kupilih
sebuah gaun yang sexy dan bahkan sepasang pakaian dalamku yang paling nakal,
meskipun aku tak bermaksud untuk mengijinkan Charles untuk melihatnya. Hanya
saja membuatku merasa sexy mengenakannya, itu saja.
Kevin merasa sedikit nervous akan kencan keduaku dengan
kliennya kali ini. Dan jujur saja akupun begitu. Namun, Charles sekali lagi
bersikap sangat begitu sopan dan segera saja perasaan canggungkupun sirna dan
aku merasa sangat rileks berada didekatnya.
Setelah dinner, kami pergi ke sebuah dance club. Charles tak
begitu lama turun berdansa denganku. Tapi ada beberapa pria yang memintaku
untuk berdansa dan mereka sangat mahir diatas lantai dansa. Mereka
menginspirasiku, mereka dan minuman yang kukonsumsi saat dinner tadi. Kalau mau
berkata jujur aku aku rasa memang aku sudah terlalu banyak minum. Kurasa itulah
pengakuan dosaku yang pertama.
Pengakuan dosaku yang kedua adalah caraku membiarkan para
pria tersebut menari denganku. Kebanyakan musik yang mengiringi adalah yang
berirama cepat dan menghentak, tipe musik yang iramanya akan membuat tubuhmu
terus bergerak mengikutinya. Tapi saat irama musiknya berganti dalam irama yang
sendu dan roman mereka tetap memintaku untuk menemani mereka diatas lantai
dansa, kujawab ‘kenapa tidak’.
Salah satu dari mereka adalah pria muda yang sepertinya anak
kuliahan berpostur tinggi. Dia dengan ‘tak sengaja’ menyentuhkan tangannya pada
dadaku beberapa kali. Aku rasa puting payudaraku tentu tercetak dibalik kain
tipis gaun yang kukenakan. Pria yang lainnya dengan sengaja membelai tepian
payudaraku saat kami menari. Pasangan dansa yang lainnya memepetkan tubuhku
ketubuhnya, menempelkan salah satu pahanya pada pahaku dan memastikan kalau aku
dapat merasakan ereksi selangkangannya kala kami bergerak mengikuti irama
musik. Aku tidak menjauh, namun sebaliknya semakin kudorong tubuhku kearahnya.
Belum pernah kurasakan dalam hidupku kesenangan menari seperti ini.
***
Diantara jeda dansa tersebut, aku kembali ke mejaku dan
mengkonsumsi lebih banyak minuman lagi bersama Charles dan kuajak dia untuk
menari denganku, namun dia kembali menolak dan berkata kalau dia lebih senang
melihatku menari. Kevin tak mengijinkanku melakukan apa yang diperbolehkan oleh
Charles, menjadi diriku sendiri untuk sekali waktu. Kuberi dia sebuah kecupan
dipipi dan berterima kasih padanya karena tidak mencercaku setelah melakukan
‘tarian nakal’. Dia tertawa dan menoleh saat seorang pria berwajah tampan
meminta ijin padanya untuk mengajakku berdansa.
“Kalau dia mau,” jawabnya sambil menoleh kearahku.
Pria ini terlihat yang paling tua diantara pria muda tadi,
penampilannya seperti seorang eksekutif paroh baya. Dia perkenalkan dirinya
sebagai Henry. Dia memiliki sebuah senyum yang menawan. Kuteguk sekilas minuman
yang entah berjenis apa yang telah dipesan Charles sebelumnya, lalu kusambut
uluran tangan Henry. Pria ini tipe penyuka musik berirama lambat. Dia tidak
begitu merespon saat musik cepat dimainkan, tapi begitu irama berganti lambat,
tangannya langsung menyergap tubuhku dan merengkuhku mendekat, menyandarkan
kepalaku dibahunya. Mulutnya berada didekat telingaku dan terus menerus dia
memuji betapa aku seorang penari yang mahir, dan betapa tubuhku terasa nyaman
dalam pelukannya.
“Kekasihmu adalah seorang pria yang sangat beruntung,”
katanya, bibirnya menggesek telingaku. “Aku berani bertaruh kalau kamu
membuatnya merasa sangat bahagia,” sambungnya.
Kutatap wajahnya. Pandangan iblisnya mengisyaratkan konotasi
seksual dalam kalimat terakhirnya. Tapi kuberpura-pura bodoh. “Maksudmu di
ranjang?”
“Ya, manis, itu yang kumaksudkan. Aku berani bertaruh kalau
kamu akan membuat orang tua sepertiku bisa mendapatkan serangan jantung dibalik
selimut.”
Dalam kondisi normal aku akan merasa dilecehkan oleh
perkataan mesumnya, namun malam itu aku mengalami sebuah perasaan bebas yang
baru dan merasa perkataan kasar dari pria asing ini lebih terdengar
menggairahkan daripada melecehkan. Dan pengakuan dosaku-pun terus berlanjut .
“Thanks untuk pujiannya, tapi itu tak akan terjadi dibalik
selimut, sayang” jawabku.
“Apa maksudmu?”
“Saat aku bercinta, aku lebih suka di atas.” Itu bohong,
tapi kupikir itu terdengar mesum.
“Oh, Baby,” dia mengerang ditelingaku. “Kamu sangat hot!”
Irama musik usai setelah itu, dan kulepaskan diriku dari
pelukan kuat Henry dan beterima kasih padanya untuk dansanya.
Kembali ke mejaku, Charles berkata kalau dia melihatku
mengobrol dengan Henry dan menanyakan apa yang kami perbincangkan. “Dia pikir
kalau aku kekasihmu,” jawabku.
“Apa jawabmu?”
“Kujawab, memang.”
“Apa dia percaya?”
“Ya, kurasa begitu.”
“Sini, kita buat dia tak merasa ragu,” kata Charles, lalu
dia membungkuk mendekatiku dan menciumku tepat dibibir. Ini sangat tak kusangka
dan untuk sesaat kubiarkan saja dia mencium bibirku yang bergetar. Namun kala
ciumannya tak jua usai, secara naluriah kumulai balas ciumannya. Dan saat ia
mulai mendesakan lidahnya diantara bibirku, rasanya sangat alamiah untuk rileks
dan membiarkannya. French kiss adalah sesuatu yang sangat kusenangi, dan segera
saja kuimbangi desakan Charles, mengeksplorasi ciuman basah dengan lidahku,
menyelipkan lidahku ke dalam mulutnya.
Kami habiskan minuman kami dan meninggalkan club. Udara
malam diluar sangat menusuk tulang, namun membuat kondisiku berangsung pulih
dari pengaruh alkohol.
“Aku tak berani berharap untuk dapat mengajak ‘kekasihku’
mau menikmati pemandangan kota dari
kamar hotelku,” katanya saat kami berjalan dengan bergandengan tangan.
Aku tertawa geli. Aku mendapatkan begitu banyak kesenangan
dan merasa belum ingin kembali ke ruamah, lalu kukatakan padanya “Kekasihmu
akan sangat senang untuk melihat pemandangannya.”
Charles menghentikan sebuah taksi dan kamipun masuk ke kursi
belakang. Tanpa berpikir, aku meringkuk ke pelukannya, kurasakan bagai bersama
suamiku sendiri. Semangat dan gairahku masih sangat membakar diriku, dan aku
hanya ingin dipeluk dan diperhatikan. Charles memperlihatkan seluruh
perhatiannya dari apa yang kuisyaratkan dan dia memberikan sebuah ciuman.
Kubalas ciumannya, dan kala tangannya menyentuh payudaraku, kubiarkan saja
tangannya tetap berada di sana .
Kami terus berciuman dan dia meremas lembut payudaraku disepanjang perjalanan
menuju ke hotel…
***
Kamar tempatnya menginap berada di lantai 10 dan didepannya
terbentang sebuah sungai. Pemandangannya memang seperti yang dia janjikan,
menakjubkan.
Kuberdiri didepan sebuah jendela kaca berukuran besar,
memandangi cahaya dibawah. Charles berada dibelakangku, tangannya melingkari
tubuhku. Kutolehkan kepala menghadapnya “Pemandangannya indah, ya?”
“Memukau,” jawabnya menatap lekat wajahku dihadapannya. Aku
tersenyum dan kuputar tubuhku , dengan tangannya masih melingkariku. Dia begitu
mempesona. Kutatap kedalam matanya, kedua matanya terasa lembut dan
menenangkan. Kucium dia, dengan bibir terbuka, mengundang lidahnya. Undanganku
dia sambut.
Aku punya pengakuan dosa yang berikutnya…
Aku ceritakan pada Kevin bahwa tak ada yang terjadi malam
itu di kamar hotel. Itu tak sepenuhnya benar. Kuceritakan padanya kalau aku
cium Charles dan membiarkannya membelai dadaku. Kuceritakan padanya kalau aku
hanya membiarkan Charles menaruh tangannya diluar gaunku. Aku rasa aku sedikit
berbohong.
Kenyataannya kubiarkan saja Charles menyusupkan tangannya
dibalik gaunku dan meremas payudaraku yang terbungkus bra. Aku tak yakin kalau
Kevin bisa menerima kenyataan sesungguhnya dari kencanku bersama kliennya.
Aku merasa saat kami berciuman disana, di kamar hotelnya,
dan dia meremas dan mempermainkan payudaraku, aku menjadi sangat terangsang!
Kedua putingku segera mencuat keras. Dan kala Charles menurunkan tali penahan
gaunku melewati bahu, lalu menarik bagian atas dari gaunku hingga pinggang, aku
sadar kalau ini berarti dia ingin membantuku melepaskan bra yang kupakai, agar
dia bisa menyentuh payudaraku, dan putingku yang keras, daging kenyalku yang
telanjang dan memanas.
Dan tepat disana, disaat itu, itu semualah yang kuinginkan.
Kenyataannya, aku tak hanya menginginkan tangannya saja di payudaraku, aku
inginkan mulutnya juga. Dan aku tak merasa kecewa.
Berikutnya kutahu kalau ternyata Charles sangat lihai
melepaskan kaitan bra yang kupakai, selihai jilatan dan hisapannya pada
payudaraku. Aku hampir meraih puncak kenikmatan dengan hanya berdiri disana
saat itu. Dan saat dia mulai melepaskan gaun yang kupakai dari tubuhku
seluruhnya, kubiarkan dia. Dia turunkan melewati pahaku dan membantuku
melangkahkan kaki dari gaunku, menuju ketelanjanganku ditingkat berikutnya.
Dia berdiri dihadapanku, dia taruh sebelah tangannya pada
kakiku yang terbungkus stocking, membelainya dengan lembut, bergerak naik
melewati lututku, semakin naik melewati bagian atas stockingku. Begitu pelan,
kurasakan ujung jemarinya merayap menyusuri bagian celana dalam berenda yang
mumbungkus selangkanganku. Dan dia kemudian berdiri dihadapanku, dengan pakaian
masih utuh. Dan aku, telanjang hingga batas pinggang. Hanya mengenakan stocking,
sepatu bertumit tinggi dan celana dalam berenda saja.
Aku ingin dicium, dan dipeluk kembali. Aku tahu dia bisa
melihatnya dalam mataku saat itu. Karena, dengan cepat dia merengkuh tubuhku ke
dalam pelukannya dan menciumku kembali. Payudara telanjangku terhimpit
ditubuhnya kala kami berciuman, mulut kami terbuka, kedua lidah kami terlena
oleh gairah.
Bagaimana mungkin mampu kuceritakan semua itu pada suamiku,
Kevin, tentang bagaimana Charles menelanjangiku hingga hanya mengenakan celana
dalam saja dan melesakkan lidahnya ke dalam mulutku. Bagaimana mungkin aku
harus menceritakan padanya bahwa aku menikmatinya dan aku menyusupkan lidahku
ke dalam mulut Charles juga. Dan juga, bagaimana aku akan bisa bercerita
padanya kalau Charles tak bertahan lama untuk berpakaian lagi, setelah ciuman
tersebut.
***
Kusaksikan Charles melucuti pakaiannya sembari berbaring
diatas ranjang. Kuamati celana dalamnya memperlihatkan sesuatu yang besar
didalamnya. “Apa aku yang menyebabkan itu?” tanyaku menggodanya.
“Bagaimana menurutmu?”
“Kemarilah,” perintahku. “Kurasa aku harus tahu apa
sesungguhnya yang harus kupertanggung jawabkan.”
Saat dia berada disamping ranjang, kugapaikan tanganku dan
kubelai bagian depan celana dalamnya. “Astaga! Apa yang sudah kulakukan?”
Itu membuatnya tertawa. Sekarang aku merasa sangat penasaran
dengan ukuran pria ini, maka kusentakkan celana dalamnya turun dan batang
penisnya langsung saja melompat keluar. Itu sangat keras dan berdiri mengacung
tegak, tepat kearahku.
Kusentuhkan tanganku padanya, terasa sangat hangat! Dan
sangat, begitu keras! Pandanganku terpaku pada batang penisnya yang besar saat
aku mengocoknya. Aku bawa kencan kali ini lebih jauh dari yang kurencanakan
pada awalnya. Disanalah aku berada, tubuh tengkurap diatas perut, diatas
ranjang dalam sebuah kamar dilantai kesepuluh, dengan tubuh hanya berbalut
celana dalam berenda dan stocking, sambil memegangi batang penis keras dan
besar milik seorang pria yang bukan suami sahku. Aku pikir Kevin tak perlu
mendengar tentang detail ini dari ‘kencanku’ bersama klien-nya .
Kujuga meninggalkan beberapa detail, seperti kenyataan kalau
kugunakan lidahku untuk menjilat batang penis besar cantik milik Charles, dan
bahwa kubiarkan dia menyusupkan kepala penisnya memasuki mulutku, dan bahwa aku
menghisapnya.
Juga tak kuceritakan pada Kevin kalau kubiarkan Charles
menyusupkan tangannya kebalik celana dalamku… dan memainkan vaginaku. Lebih
baik kuceritakan padanya kalau hal yang seperti sama sekali tak terjadi. Aku
pasti tak menceritakan padanya kalau akhirnya kubiarkan Charles melepaskan
celana dalam yang kupakai.
Dan pengakuan dosaku yang terbesar…
Kubiarkan Charles menyetubuhiku. Jujur kukatakan hal
tersebut. Kubiarkan pria yang begitu baik ini, seorang pria ahli mencium dan
memperlakukanku dengan sangat genteleman di atas ranjang, memasukkan batang
penisnya yang besar kedalam vagina yang seharusnya hanya untuk suami yang
kunikahi saja.
Aku jadi begitu basah untuknya. Dia masuk dengan mudahnya,
memasukiku begitu dalam. Meskipun dia begitu besar, dia mengisiku dalam satu
kali hujaman saja, kurasa aku menggelinjang. Aku biasanya hanya pasif diatas
ranjang, tapi tidak untuk malam itu. Aku begitu tenggelam dalam moment indah
itu. Aku tak ingin bercinta, aku ingin bersetubuh. Aku mau disetubuhi dan
kubisikkan padanya “Puaskan aku. Setubuhi aku,” aku melenguh. “Setubuhi vagina
kekasihmu! Lakukan dengan keras!”
Dan dia mengabulkannya. Oh suamiku tercinta, aku tak
menyangka jika seks terlarang akan terasa begitu nikmat!
***
Kevin tak akan tahu kenyataan sebenarnya dari kencanku
dengan Charles. Dia hanya tahu aku mendapatkan saat yang menyenangkan. Dia
hanya tahu kalau klien-nya tersebut memperlakukan isterinya dengan sanga sangat
sopan dan baik.
Aku mencintai suamiku, dan kehidupan seks kami berubah
menjadi lebih menggairahkan setelah kencanku ini. Sangat jauh lebih
menggairahkan dari yang sudah-sudah. Kurasa karena kebebasan yang kudapatkan
bersama Charles dari dua kencan tersebut.
Apakah aku akan berkencan lagi dengan Charles? Ataukah
dengan pria lain? Mungkin…
Kembali, jauh dalam lubuk hatiku, aku menantinya. Aku
mengharapkannya.
***
Kevin akan pergi ke luar kota
akhir pekan ini. Dia jarang bepergian untuk urusan bisnis, jadi jarang pula aku
mendapat malam minggu untuk diriku sendiri. Kuhitung hari dan membuat rencan
untuk kali ini bahkan semenjak dia mengatakan padaku tentang perjalanan
bisnisnya akhir pekan ini.
Akan kuhabiskan malam dipusat kota
bersama sahabatku Marsha. Aku tahu banyak tempat yang menyenangkan untuk dikunjungi
dipusat kota , tapi Marsha masih
single dan dia tahu semua tempat yang sering dikunjungi wanita single
sepertinya, untuk kencan dan atau menunggu dipilih.
Sebagai seorang sahabat baik, Marsha, sudah mengingatkanku
untuk melupakan ideku ini. Dia sudah mengenalku semenjak kuliah dan dia juga
mengenal Kevin.
“Amanda, kamu yakin akan melakukan ini pada Kevin?”
“Aku tidak melakukan apapun padanya. Ini tentang aku. Apa
yang tidak dia tahu tak akan menyakitinya.”
Marsha hanya mengangkat bahunya dan menarik nafas, “Seorang
pria akan mendapat malam Minggu yang sangat beruntung, hanya itu yang bisa
kukatakan.”
Sesungguhnya, masih banyak yang mau dikatakannya, sebagai
seorang ahli pesta dan seorang wanita single yang menarik yang kelihatannya
selalu punya kekasih baru setiap kali aku mengunjunginya. Dia menguasai
keahliannya, dan dia memberiku saran apa yang harus kupakai
“Sekarang, jangan terlihat seperti seorang wanita murahan,
tapi pastikan kalau kamu memperlihatkan asetmu dengan benar.” Dia juga memberikan
tips untukku tentang tipe pria yang harus dihindari dan bagaimana agar ‘tetap
aman’.
Beberapa bulan yang lalu aku menolong suamiku dan menemani
klien bisnisnya berkeliling kota .
Sesungguhnya, akhirnya aku memperlihatkan padanya lebih dari sekedar kota
ini! Kejadian tersebut sangat membangkitkan kehidupan ranjangku dengan Kevin.
Dia tak pernah membahasnya, jadi kupikir dia tak memusingkan apa yang sudah
terjadi.
Entah bagaimana, aku merasa kalau aku berhak mendapatkan
kesempatan lagi untuk acara keluar malamku. Ini bukan hanya tentang seks saja,
aku dapat memperolehnya di rumah. Mungkin perasaan bahaya dari itu semua, aku
tak tahu. Aku tak mau sesuatu yang berkelanjutan. Tidak, itu akan sangat rumit.
Aku hanya ingin mendapat sebuah kesenangan, semalam dan selesai.
Kevin menanyaiku apa aku punya rencana untuk malam Minggu.
Kukatakan padanya kalau aku menghubungi Marsha dan mungkin akan pergi keluar
dengannya untuk minum atau sekedar jalan-jalan. Itu kelihatannya memuaskan dia.
Kuantar dia ke bandara Sabtu paginya. Itu membuatku
mendapatkan satu hari penuh untuk mempersiapkan apa yang akan kupakai dan
mendandani rambutku dan hal-hal kecil lainnya yang dilakukan wanita untuk
mempercantik diri, termasuk sebuah strategi untuk mencukur bulu kemaluanku.
Marsha menghubungiku sekitar pukul tiga dan mengatakan kalau
dia akan memakai jeans. Kuputuskan untuk mengikutinya dan memilih salah satu
jeans terbaikku. Jeans tersebut menempel diseluruh tubuhku bagaikan sebuah
sarung tangan. Kupadu jeans tersebut dengan atasan yang disukai Kevin karena
ini dapat memperlihatkan bentuk dadaku tanpa mengekspos belahan dada. Kevin
kadang sangat protes jika aku berpakaian terlalu terbuka dimuka umum. Aku puas
dengan penampilanku, sangat pas, sangat seksi.
“Hot!” Itu komentar Marsha saat kami bertemu disalah satu
club yang kami pilih. Jeans yang kupakai mungkin sudah ketat, tapi yang dipakai
Marsha seakan tercetak tepat ditubuhnya, Dia memaki sebuah blous untuk
atasannya, sebuah blous yang terlihat sebagian dikancingkan dan sebagian lagi
tidak, tergantung bagaimana kamu melihatnya.
“Apa kamu butuh bantuan… dengan sisa kancing itu?” kugoda
dia. Dia tertawa dan berkata dia hanya ingin memberi sebuah awalan untuk si
pria nanti. Dan saat kuperhatikan sekeliling, semua mata pria disana tertuju
pada kami berdua, ada beberapa pria yang seakan siap jika ada kesempatan untuk
menyelesaikan pekerjaan melepaskan kancing blous yang dia pakai untuknya.
Kami beli minuman pertama, tapi setelah itu kelihatannya
saat setiap kali kembali ke meja kami, sudah ada minuman baru yang menunggu,
hadiah dari para pengagum.
Hanya beberapa pria yang bertanya padaku tentang bekas
melingkar dari cincin dijariku. Yang pertama, aku tengah berdansa dengan
seorang anak muda bertubuh jangkung, dan dia mengamati jariku. “Baru bercerai?”
Kuputuskan untuk tak bohong. “Tidak.”
“Kamu hanya tak ingin memakai cincinmu malam ini?”
“Benar, malam ini akau single.”
“Wow, kamu lihat kami?” Marsha bertanya padaku saat kami
menari mengikuti irama, ‘kami’ adalah dia dan seorang pria berambut panjang
yang bernama Kaka. Dan ya, kulihat mereka tadi. Mereka sangat sulit dilewatkan,
menari dengan meliukkan tubuh saling menempel erat.
“Dia mengajakku pergi ke apartmentnya.”
“Denganmu, bukan?”
“Tentu saja denganku, konyol kamu,” dia tertawa geli.
“Hanya memastikan.”
Kuingatkan dia tentang aturan keamanan yang dia katakan
padaku sebelumnya ‘hotel atau motel tapi tidak untuk apartment dalam kencan
pertama’.
Dia tertawa. “Aturan dibuat untuk dilanggar, kadang. Amanda,
kamu harus merasakan otot pria ini. Dia sangat kekar.”
“Apa kita sedang bicara tentang otot tertentu?”
Marsha membenamkan wajahnya ke bahuku, tertawa keras dan
mengucapkan sesuatu yang tak bisa kudengar dihingar bingar club ini. Bandnya
mulai memainkan lagu dan Kaka, si perkasa, sedang berjalan ke arah kami.
“Kamu mau kutanyakan padanya apa dia punya teman?”
“Tidak, aku baik-baik saja,” jawabku.
Kaka tahu seseorang yang bisa dipasangkan denganku. Dia
adalah pria yang pernah dansa denganku sebelumnya. Cukup tampan, tapi ada
seorang lain yang menarik perhatianku.
“Kalian perdua pergilah… bersenang-senang.” Dari cara mereka
saling pandang, kesenangan itu mungkin dimulai di area parkir.
Marsha minta maaf untuk meninggalkanku. Kuyakinkan dia kalau
aku tak apa-apa. Dan untuk membuktikannya kuberi dia ciuman perpisahan dan
segera berlalu dari hadapannya, langsung melangkah menuju ke bar dimana salah
satu pasangan dansaku sebelumnya sedang duduk, menunggu untuk turun denganku
lagi.
Lebih dari satu pria yang mencoba merayu dan menyentuhku
dilantai dansa malam itu, tapi hanya seorang yang kubiarkan. Namanya Opick. Dia
langsung menyadari identitas bekas cincin dijariku, namun baru berikutnya saat
kami duduk dibar, dia mengangkat topik tersebut.
“Apa kamu melupakan sesuatu malam ini, manis?” senyumnya
begitu meruntuhkan hati.
Kugigit bibir bawahku, menggodanya dan mengangguk.
Dia memegangi tanganku dan meremasnya dalam genggaman
tangannya. “Baguslah. Kamu siap untuk pergi ke tempat lain… yang lebih sepi?”
“Apa yang kamu pikirkan?”
“Tempatku?”
Pertama kali hatiku bereaksi menjawab, ‘ayo’, tapi aturan
Marsha menahanku. Dia berusia seumuranku, 30 mungkin beberapa tahun lebih tua.
“Aku tak tahu soal itu. Aku baru saja mengenalmu… ” jawabku,
masih tersenyum, dan meremas tangannya untuk memberinya harapan. Aku ingin agar
dia menyarankan sebuah hotel, tapi aku tahu kalau dia tipe seorang gentleman.
‘Tempatnya’ tak harus berarti seks. Aku yang harus memutuskan kalau akau berada
disana. Sebuah hotel, disisi yang lain, itu akan sangat jelas dan tak bisa
dipungkiri menyatakan maksudnya dengan jelas.
Opick tak tahu harus berbuat apa, dia terlihat bimbang. “Mau
jalan-jalan? Hanya putar-putar saja?” tawarnya.
Dia sudah mengkonsumsi banyak minuman, jadi aku tak yakin
mau berada dalam satu mobil dengannya. Satu ranjang, mungkin, tapi yang jelas
bukan satu mobil.
“Hey, aku tahu sebuah tempat yang bisa kita datangi,”
jawabku, tangannya melingkariku dan menarikku ke tubuhnya.
“Dimana?”
“Tempatku,” bisikku ditelinganya.
***
#KEVIN
Alasan utamaku keluar kota
kali ini adalah untuk memperlihatkan pada klien bahwa kita menghargai bisnis
mereka. Ada yang mereka khawatirkan
tentang kontrak sebelumnya, tapi setelah dinner, semuanya berhasil kita
selesaikan dan bisnis kita ke depannya terlihat lebih menjanjikan.
Ditengah masakan Italia dan wine Italia yang sempurna, Jack,
salah satu wakil direktur diperusahaan kami, menanyaiku tentang kabar isteriku.
Dia pernah bertemu Amanda satu kali dan selalu bertanya tentangnya setiap kali
kami bertemu. ‘Kamu benar-benar mendapat durian runtuh’, aku ingat komentarnya.
“Dia baik-baik saja,” jawabku.
“Jika aku menikah dengan wanita seperti itu, akan kuajak
kemanapun aku pergi,” katanya, menjilat dengan cepat setetes wine dibibir bawahnya.
“Aku juga hampir melakukannya.” candaku.
“Kamu tahu apa yang mereka bilang: Saat sang kucing pergi…”
dia tak meneruskan kalimatnya, yang kutahu kelanjutannya.
Sejujurnya aku mencurigai ‘si tikus’ sedang bermain-main
malam ini. Dia pernah satu kali bermain-main dibelakangku, aku sangat yakin
akan itu. Meskipun itu separuh kesalahanku. Kupinta dia menemani seorang klien
untuk berkeliling kota . Si klien
tak tahu kalau dia isteriku dan belakangan dia memberitahukanku kalau dia
mendapatkan saat-saat yang hebat bersamanya, meskipun tidak dia ungkapkan
dengan jelas, aku faham apa maksudnya. Aku bukan orang bodoh.
***
Yang jadi masalah, setelah ‘kencan’ dengan Charles tersebut,
kehidupan seks kami berubah jadi penuh gairah, Jadi apa yang harus kulakukan?
Merusak itu semua? Aku tak mau kembali ke Amanda yang lama, yang pergi tidur
dengan pakaian tidur flanelnya dan tak pernah tertarik untuk menghisap penisku,
atau saat kami bercinta, hanya mau dengan satu cara, aku di atas, dia di bawah.
Amanda yang ‘baru’ penuh kejutan. Dia lebih bersuara, dia
sering memakai sesuatu yang seksi ke atas ranjang. Atau kadang tak memakai
apapun. Sekarang, malam ini, dia sedang pergi keluar, ke tengah pusat kota
dengan temannya yang binal, Marsha. Aku yakin keduanya akan menemukan sesuatu
yang cukup ‘nakal’ untuk dilakukan. Aku hanya berharap kalau dia akan menjaga
diri dan tak terlalu banyak mengkonsumsi alkohol.
***
#AMANDA
Opick sangat nervous berada di rumahku. Sudah berulang kali
kukatakan padanya kalau suamiku tak akan pulang sampai Minggu malam. Tak ada
alasan untuk terus menerus melihat ke arah jam, kataku padanya. Sial, aku
bahkan mengharapkannya untuk menghabiskan malam bersamaku, kalau dia lihai
diatas ranjang, tapi tak kukatakan hal itu padanya.
Dia sangat lambat untuk memuli gerakan, jadi kuputuskan
untuk memecah kebekuan dengan melepaskan baju atasku. “Rasanya agak gerah malam
ini, bukankah kamu rasa begitu?” bra yang kupakai untuk ‘kencan’ malam ini
berwarna putih, lembut dan agak menerawang.
“Akan kuambilkan minum untuk kita?” kataku, bangkit dari
sofa.
Opick meraih tanganku, sebelum aku berdiri penuh. “Tak usah,
aku tidak haus.”
Tarikannya pada tanganku membuatku kehilangan keseimbangan,
dan langsung rubuh kembali ke atas sofa disampingnya. Kurasa pemandangan
payudaraku, dengan putingku yang terlihat samar, mulai menampakkan efeknya.
Dia menekan tubuhku dan mulai menciumku, seakan dia takut
aku akan berubah pikiran dan berusaha berontak. Tapi lidahnya terasa baik
untukku, dan berontak adalah kata terakhir dalam benakku. Khususnya saat
kugapai ke bawah untuk menyentuhnya dan menemukan betapa sudah kerasnya dia.
Kami saling berciuman dan memagut di atas sofa untuk
beberapa saat. Aku merasa bagai seorang remaja lagi. Aku sama sekali tak merasa
telah menikah. Kubukai kancing baju Opick dan merabakan tanganku diatas dada
dan perutnya saat kami saling melumat. Dia remas payudaraku dan bahkan
menciumnya dengan kasar dari balik kain bra-ku. Mempermainkan dan menggigiti
putingku.
Kusapukan tanganku pada selangkangannya. Dia meraih kancing
jeansku. Bagaikan sepasang remaja di jok belakang mobil pada area parkiran.
Tuhan, ini sungguh erotis!
“Bagaimana kalau kita naik ke lantai atas saja?” saranku,
saat dia tengah sibuk dengan resleitingku.
Dia memandangku dengan bingung. Apakah aku menyarankan untuk
menyelesaikan permainan nakal kami ini di ranjang yang sama dengan yang kupakai
dengan suamiku? Aku yakin itulah yang sedang dipikirkannya.
“Ada dua kamar
dilantai atas,” terangku padanya, menariknya berdiri. “Satu untuk tamu, dan
ranjangnya tak begitu nyaman.” Kami berdiri disana, lengan kami saling
melingkari satu sama lain. Ereksinya menekan keluar dari dalam celananya.
“Kamar yang satunya mempunya ranjang yang lebih besar. Dan
rasanya sangat nyaman. Dan itu yang lebih kupilih.”
“Pilihanmu adalah pilihanku,” jawabnya, menyelipkan
tangannya turun lagi ke belakang tubuhku hingga berhenti dipantatku. Dia remas
dan menarik tubuhku semakin merapat. Batang penisnya memberi pertanda jelas
kehadirannya, aku jadi basah.
Kubimbing dia ke atas dan menyuruhnya untuk menunggu diluar
kamarku. Ada sebingkai foto Kevin
diatas meje riasku. Segera kusimpan ke dalam laci dan menyingkap selimut dari
atas ranjang.
“Semuanya siap, sayangku!” Kutarik nafas dalam-dalam. Aku
benar-benar sudah melangkah jauh! Apakah aku benar-benar melakukan ini?
Kubiarkan Opick melepas bra-ku. Sudah dari tadi ingin dia
lakukan. Masih memakai jeans, kutendang lepas sepatuku dan menjatuhkan diri
rebah ke atas ranjang, payudaraku menari mengharapkan perhatian.
Opick menuntaskan ketelanjanganku dan kubantu dia
menelanjangi tubuhnya. Dan kemudian kuserang batang penisnya, kusergap
kejantanannya yang membuatku penasaran. Rasanya sungguh indah dalam
genggamanku. Harus kugunakan kedua tanganku untuk menggenggamnya, dan harus
segera kucium dan bercinta dengan batang penisnya.
Dan itu sungguh bereaksi, seakan seorang anak kecil, tumbuh
semakin tinggi dan tinggi dan keras dan semakin mengeras. Opick terlihat senang
dengan caraku menggunakan lidah padanya. Bukan hanya pada batangnya, tapi juga
dibawah buah zakarnya, sedikit turun ke pahanya, dan naik kembali disepanjang
ereksi besarnya, semakin naik menuju kepalanya yang licin.
Opick membalas perlakuanku, dia benamkan kepalanya diantara
pahaku, dan menciumi serta menjilt vaginaku. Membuatnya semakin bertambah basah
dari sebelumnya. Dia tetap bertahan dibawah selangkanganku sangat lama, bermain
dengan kelentitku. Waktu yang cukup bagiku untuk meraih orgasme pertama dan
pulih kembali untuk putaran berikutnya.
Nafasku terasa berat, kugapai ke bawah dan menjambak
rambutnya. “Sayang, ayo lakukan! Mari bersetubuh!”
Ereksinya butuh perlakuan lebih lengkap, mulutku tak bisa
menanganinya. Dan kemudian dia menaiki tubuhku. Tubuhnya menutupiku seutuhnya, kejantanannya
sungguh sempurna. Jika saja aku tak begitu basah, mungkin saja dia butuh
sedikit paksaan untuk memasukkan seluruh batang penisnya ke dalam liangku, tapi
aku sudah lebih dari sangat basah. Dia masuk ke dalam tubuhku dalam satu
dorongan panjang.
***
#KEVIN
Sekarang sudah tengah malam lebih. Amanda tentu sudah berada
dirumah sekarang. Atau mungkin belum. Hanya ada satu cara untuk mengetahuinya.
Kupelajari instruksi pada telephone hotel untuk melakukan panggilan jarak jauh.
Kubayangkan apa yang dia pakai untuk acara keluarnya malam ini. Hanya pergi
minum dengan Marsha bisa berarti segalanya. Marsha selalu memperlihatkan bentuk
tubuhnya, kubayangkan isteriku berkelakuan yang sama. Apakah dia memakai rok
mini? Blous yang berpotongan dada rendah? Apa dia memperlihatkan keindahan
tubuhnya pada pria-pria di club? Berdansa dengan mereka? Bahkan mungkin
menggoda mereka hingga penasaran.
Brengsek! Tentu saja dia akan membuat mereka sangat
penasaran. Aku sendiri sangat penasaran dan mulai bergairah hanya
membayangkannya saja. Kumasukkan tanganku kedalam boxerku dan mulai menyentuh
diriku, saat kumulai menekan tombol nomer telephone. Batang penisku sudah
mengeras saat aku selesai menekan nomernya.
Amanda mengangkat telephonnya setelah dering kedua. Dia
masih terjaga, mungkin dia baru sampai ke rumah.
“Hai, sayang. Aku tak membangunkanmu kan ?”
“Tidak, sama sekali tidak. Aku sudah sampai di rumah sekitar
satu jam lalu, tapi aku tak bisa tidur.”
“Oh? Semuanya baik saja bukan?”
“Ya. Semuanya baik saja.”
“Baguslah. Apa kamu bisa bersenang-senang malam ini?”
tanyaku.
“Oh, ya! Marsha dan aku mendapatkan saat-saat yang sangat
menyenangkan, meskipun kurasa aku mungkin agak terlalu mabuk tadi.”
“Apa yang kubilang soal jangan minum terlalu banyak?”
“Aku tahu, sayang. Aku tahu. Tapi saat kamu bersama Marsha,
kurasa kamu akan bertingkah seperti Marsha.”
Oh, Tuhan! Bertingkah seperti Marsha? Marsha, si jalang?
Penisku berdenyut dalam genggamanku. Aku harus dengar semuanya bagaimana
kelakuannya. Aku mau tahu apa dia membiarkan ada pria yang menyentuhnya, atau
menciumnya… atau apalah. Mungkinkah Amandaku, bahkan Amanda yang baru,
bertingkah sejalang Marsha? Kuragukan itu.
***
#AMANDA
Jantungku seakan melompat dari dalam dadaku saat dering
suara telephon menjerit! Sesaat kesadaranku belum mengetahui apa yang tengah
terjadi. Baru saat dering kedua kembali terdengar, kutolehkan kepala ke
samping, ke night stand disamping ranjang.
Kudorong tubuh Opick diatasku yang juga terkejut dan diam.
Kuraih gagang telephone dan kulihat caller id, Kevin! Kukatakan pada Opick
kalau yang menelphon adalah suamiku dan memberi isyarat padanya agar diam…
Dia menanyakan apakah telah membangunkanku, tentu saja
kujawab jujur, tidak. Kami tenggelam dalam perbincangan, seputar pertanyaan apa
yang sudah kulakukan malam ini.
Sejenak keberadaan Opick tersisih dari perhatianku, hingga
saat mataku melirik kearahnya, diujung ranjang, tangannya bermain dengan batang
penisnya.
Darahku berdesir, sebuah pikiran nakal melintas, akan kubawa
percakan telephone ini ke arah yang lain… Kuberi isyarat pada Opick untuk
mendekat, kududuk bersandar pada headboard, paha terbentang. Kuceritakan pada
Kevin tentang dansa di club, tentang rabaan pria yang menari bersamaku.
***
#KEVIN
“Apa kalian berdansa?”
“Ya, kami berdua melakukannya, sayang. Tapi aku terus
memikirkanmu sepanjang waktu.”
“Benarkah?” aku tersanjung.
“Dan, sayang, aku harus katakan ini padamu. Kuharap kamu tak
marah padaku.”
“Apa manis?”
“Mmm, pria satu ini, yang lebih tua, jadi sangat ereksi
keras saat kami menari…”
Kucoba membayangkan isteriku berada dalam pelukan pria lain,
begitu erat hingga dia bisa merasakan batang penisnya menekan tubuhnya.
“Dan kubayangkan sedang menari bersamamu, sayang.”
Kukocok penisku saat kudengarkan isteriku menceritakan
secara detail bagaimana dia berada dalam pelukan pria asing yang penisnya
membuat dia terangsang. Sekarang, kamu harus tahu kalau aku dan Amanda belum
pernah melakukan telephone seks. Bahkan sebelumnya, saat aku sering bepergian,
dia tak akan mau melakukannya. Dia bilang itu menjijikkan. Tapi sekarang,
inilah dia, sedang menceritakan padaku bahwa dia bisa merasakan ‘batang penis
kerasku’ menggesek tubuhnya, bergerak bersamanya, seirama musik.
“Dan kutekankan dadaku ketubuhmu, sayang. Putingku sangat
keras!”
“Seperti aku sekarang,” kukatakan padanya. Kurasa akan lebih
baik jika dia tahu kondisiku.
“Aku mulai basah, sayang, berada begitu dekat… dan saat kamu
gerakkan tanganmu turun ke pantatku… dan menahannya disana… Oh, Tuhan! Aku
hanya ingin segera telanjang bersamamu… Apa kamu sudah telanjang sekarang,
sayang?”
“Ya, aku telanjang, sayang. Kamu?”
“Ya, Kevin. Aku juga telanjang sekarang.”
Batang penisku mendengar dengan nafas tertahan, meregang,
berdenyut akan setiap suku kata mesum yang keluar dari telephone.
“Sayang, yang kuinginkan saat itu hanya langsung membawamu
pulang dan naik ke ranjang bersamaku… agar dapat kuhisap penis indahmu…
merasakannya dalam mulutku… dilidahku…”
Kuperkencang genggamanku di batang kerasku, aku tak mau
keluar dulu. “Oh, ya, Amanda!”
“Apa kamu genggam penismu untukku, sayang?”
“Ya. Kugenggam erat.”
“Kocoklah untukku, sayang. Bayangkan mulutku sedang
mengulumnya,” bisiknya, suaranya mulai terdengar berat, nafasnya memburu.
***
#AMANDA
Kugenggam batang penis Opick yang berdiri dipinggir ranjang,
disampingku, seperti yang tengah kugambarkan untuk Kevin. Kupinta dia untuk
membayangkan sedang kukulum, saat kumasukkan batang Opick jauh kedalam mulutku.
Aku mulai mengulumnya, menjilatnya dengan rakus. Sensasi yang kurasa sungguh
tak terlukiskan, kuperdengarkan pada suamiku saat kuberikan oral seks basah
pada Kevin, membiarkan telinga suamiku mendengarnya, diseberang telephone.
Mumbuatnya mengira aku sedang menghisap jariku
***
#KEVIN
“Rasakan aku menciummu… menjilatmu… menghisapmu…”
“Oh, Amanda! Aku sangat menginginkanmu!”
“Aku juga menginginkamu, manis,” jawab Amanda. “Aku ingin
kamu… di dalamku!!”
Penisku sudah siap untuk meledak.
“Aku ingin kamu masukkan sekarang… ke dalam vaginaku yang
basah!”
***
#AMANDA
Itu seakan perintah untuk Opick, dia dorong tubuhku naik ke
ranjang, penisnya lepas dari mulutku. Aku merangkak diatas ranjang, telephone
masih menempel ditelinga. Dia bergerak kebelakangku dan langsung mengujamkan batang
penis kerasnya, basah oleh liurku, kedalam vaginaku yang kuyup.
Kumengerang ditelephone, memohon pada Kevin untuk memasukkan
penisnya sedalam-dalamya ke liang panasku. Opick mulai mengayun, aku mendesah,
semakin membakar birahi suamiku, kubakar birahi pasangan bersetubuhku malam
ini. Saling mengayunkan tubuh basah berkeringat. Batangnya mengeksplorasi
bagian terdalam dari tubuhku, membuatku melenguh panjang, Kevin mendengarnya
diseberang sana , mengocok penis
dengan tangannya.
Di dalam kamar ini, diatas ranjang milikku dan Kevin,
vaginaku terus dikocok dari belakang. Tangannya mencengkeram erat pinggangku,
kuletakkan gagang telephone diatas bantal didepanku. Tanganku mencengkeram erat
seprei, bibirku berulang kali mendesis.
***
#KEVIN
Berhasil, kata-kata terlarang, erangan, lenguhan dari mulut
isteriku, mengirimku ke batas akhir.
“Oh, yaa, sayang! OHH, Amanda, YAA!” aku teriak, pelepasanku
menyembur dimana-mana.
***
#AMANDA
“Oh, yaa! Lebih keras! Setubuhi aku! Keras…Ssshhh!” aku
mendesis, gigiku beradu rapat, ditelephone, lengan dan lutut menahan tubuhku,
Opick menghujamkan batangnya kedalam tubuhku dari belakang, ranjang ini
terlonjak naik turun, berderit, bercampur dengan beradunya kulit dan daging
basah. Oh, sangat nikmat!
Diseberang sana
Kevin mengerang orgasme, aku rubuh tertindih tubuh Opick, kurasakan penisnya
berdenyut hebat dalam jepitan vaginaku. Spermanya mengeluarkan semburan demi
semburan, serasa tak ada habisnya. Dengusan nafas Kevin diseberang telephone,
nafasku, nafas Opick memburu, berpacu, bersahutan, meredakan gelegak birahi,
bagaikan sebuah irama dendang surga yang menghantar lelap…
***
Aku sadar kalau tinggal menunggu waktunya saja sebelum Kevin
mengetahui kalau aku tak sepenuhnya setia padanya. Yang membuat semakin buruk
adalah dia termasuk seorang pria yang belum pernah berkhianat pada isterinya,
sejauh yang kutahu. Akan lebih mudah untuk berterus terang tentang kesalahanku
jika dia juga melakukan hal yang sama. Sial! Aku berharap dia melakukannya.
Jujur saja, aku mempunyai fantasi dia melakukannya dengan sahabatku Marsha.
Tapi itu tak akan terjadi.
Dia tak begitu suka dengannya. Suamiku menganggap kalau
Marsha membawa pengaruh buruk padaku. Tapi suamiku salah menilainya. Bukan
Marsha yang mengajakku pergi ke club, itu adalah ideku. Sesungguhnya dia
menasehatiku untuk tak melakukannya, meskipun hanya menasehati saja, tapi dia
telah mencobanya. Dan Marsha tak menyuruhku untuk berdansa dengan pria asing.
Aku suka berdansa, suka menari menggerakkan tubuhku mengikuti irama musik dan
Kevin sama sekali tak menyukainya.
Aku dibesarkan untuk mempercayai bahwa wanita yang telah
menikah hanya mendapatkan seks dari suaminya. Ibuku juga mengingatkanku kalau
pria, bahkan yang sudah beristeri, akan langsung menyeret ke tempat tidur jika
si wanita memberikannya kesempatan, namun dia tak mempersiapkanku jika aku
mungkin terlibat dalam situasi tersebut. Sekarang, aku tak bilang kalau aku
naik ke ranjang dengan pria manapun yang tersedia, tapi aku harus mengatakan
bahwa ada banyak pria, yang disaat yang tepat, bisa membuatku cukup bergairah
untuk… bertindak liar.
Akhir-akhir ini aku terus memikirkan untuk berterus terang
pada Kevin kalau aku sudah berselingkuh dibelakangnya. Bukan karena merasa
bersalah, tapi lebih karena jika dia mendengarnya dari orang lain, itu akan
sangat membuatnya terpukul. Marsha pikir keputusanku ini salah, dia yakin kalau
Kevin tetap akan merasakan hal yang sama meskipun dia tahu dariku ataupun dari
orang lain.
“Dia tak akan mampu menerimanya. Aku tahu dia tipe pria
seperti apa. Dia tak akan bisa menerimanya begitu saja. Apa dia pernah bermain
gila dibelakangmu?”
“Tidak pernah.”
“Tepat seperti dugaanku.”
“Aku masih merasa kalau aku harus mengatakannya sebelum
orang lain melakukannya.”
“Amanda, simpan dulu hal ini. Mungkin ada yang bisa
kulakukan.”
Aku tertawa. “Kalau kamu berpikir apa yang kupikir sedang
kamu pikirkan, lupakan saja.”
“Apa yang kamu pikir sedang kupikirkan?”
“Lupakan, apa idemu?”
“Tidak, katakan padaku. Apa yang akan kamu katakan?”
Aku kembali tertawa. “Kadang, aku pikir tentang Kevin… dan
kamu! Tapi itu tak mungkin berhasil.”
“Kamu benar. Dia bukan termasuk dalam kategoriku. Aku rasa
kita berdua tahu itu. Tapi aku tak tahu kenapa. Aku belum pernah melakukan
sesuatu padanya.”
“Dia hanya menilaimu nakal dan genit. Dia selalu menilaimu
seperti itu. Itu bermula dari pertama kali dia bertemu denganmu.”
“Di pesta kolam?”
“Jadi, kamu ingat?”
“Tentu, aku sangat penasaran untuk bertemu dengan pria yang
begitu membuatmu jatuh cinta. Aku sangat mengingatnya. Tapi aku lupa apa yang
sudah kulakukan atau kukatakan yang membuatnya menilaiku seperti itu.”
“Kamu ingat apa yang kamu pakai?”
“Tidak, mungkin bikini. Kenapa?”
“Yah, dia mengingatnya. Kamu pakai string bikini warna
hitam.”
Marsha tertawa. “Oh, Tuhanku! Kamu bercanda, dia ingat apa
yang kupakai hari itu?”
“Kelihatannya, kesan itu sangat membekas dalam ingatannya.
Kesan yang sangat negative.”
“Dia bilang seperti itu padamu?”
“Wanita manapun yang memakai pakaian seperti itu di acara
keluarga tak menghargai dirinya sendiri, itu yang dia katakan. Dia juga bilang
kalau dia sangat terkejut aku punya teman sepertimu.”
“Apa yang kamu katakan?”
“Kami bertengkar hebat.”
“Kamu tak pernah bilang tentang ini.”
“Apa poinnya? Dia keterlaluan, dan lagipula aku juga tak
suka dengan beberapa temannya.Jadi tak ada alasan dia harus menyukai semua
temanku.”
“Baiklah, Amanda, aku akan jujur padamu. Bukan aku yang
kupikirkan untuk dijadikan dengan Kevin.”
“Oh? Lalu siapa?”
“Aku bisa pikir beberapa kandidat.”
“Baiklah, itu tak masalah. Kevin tak akan menghianatiku.”
“Mau taruhan?”
“Hampir.”
“Aku akan butuh bantuanmu untuk mengaturnya. Kamu ikut?”
“Marsha, aku rasa ini bukan ide yang baik.”
“Ok. Kamu punya yang lebih baik? Katakan saja pada Kevin
semuanya. Katakan bagaimana ramahnya kamu dengan Charles dan bagaimana kamu
memilih seorang pria, sama sekali tak kamu kenal, membawanya pulang bersamamu,
dan menyetubuhinya dengan gila. Di atas ranjangmu sendiri. Aku yakin itu akan
jadi masalah yang sangat besar!”
“Ok. Baiklah. Kamu benar. Dia akan sangat marah.”
“Kamu benar sekali. Jadi, beri aku beberapa hari, Ok?
Berjanjilah padaku kamu tak akan mengatakan apapun padanya, setidaknya selama
satu minggu.”
“Baiklah, aku janji.”
***
#KEVIN
Waktu menunjukkan pukul lima
sore saat kudapat sebuah telephone.
“Kevin? Hai. Ini Charles. Masih ingat denganku?”
“Hai, Charles. Tentu, aku mengingat anda. Bagaimana
kabarnya?”
“Baik! Sangat baik. Tapi dengar, untuk menyingkat cerita,
bagaimana cara agar aku bisa menghubungi Amanda, wanita yang kau kirim untuk
menemaniku beberapa bulan lalu? Aku ada pesta besar tiga minggu kedepan dan aku
ingin mengundang dia.”
“Tapi anda tinggal di Milan
bukan?”
“Ya memang. Kenapa? Tiket kapal terbang tak terlalu mahal,
lagipula aku masih punya beberapa tiket yang belum kugunakan. Aku bisa
mengiriminya sebuah tiket.”
“Baiklah, akan kulihat apa aku bisa menghubunginya. Tapi
anda tahu kalau dia sudah menikah, dan …”
“Ya, ya. Aku tahu.”
“… sudah agak lama sejak aku…”
“Kevin, Aku tahu kalau aku bisa mengandalkanmu. Henry bilang
padaku kalau kamu selalu bisa diandalkan.”
“Hey, aku tak menjanjikan apapun, Charles. Tapi akan kulihat
apa yang bisa kulakukan.”
“Tepat. Itu yang ingin kudengar. Jika aku bisa mendapat
Amanda dipestaku nanti, itu akan sangat, sangat membuatku senang.”
Sangat membuatmu senang, hah? Itu tak akan membuatmu senang
Charles tua. Tak mungkin aku akan membuat kesalahan yang sama kembali. Amanda
tak akan mendengar tentang ini. Tak ada alasan untuk menceritakan padanya
kalau… Charles menginginkannya terbang ke Milan …
untuk apa? Untuk menidurinya? Tidak, terimakasih.
Kucoba menyingkirkan Charles dari otakku, tapi dia tak mau
pergi begitu saja. Beberapa hari kemudian, di kantor, telephoneku berdering.
Dari Diana, salah satu asisten Henry.
“Kevin, Henry mencarimu. Haruskah kubilang padanya kalau
kamu sudah kembali ke kantor?”
“Tak usah, aku akan menemuinya.”
Aku mulai sadar, saat berjalan dikoridor, aku belum
menghubungi Charles kembali. Dia pasti bilang sesuatu pada Henry. Sial.
Henry bangkit dari balik mejanya dan merangkulku. “Kevin,
aku ditelephone Cahrles. Dia akan menggandakan ordernya untuk tahun depan. Dan
kamu tahu, kalau tidak karena bantuanmu pada perusahaan, aku rasa itu tak akan
terjadi. Aku sangat berhutang budi padamu, bung.”
“Apa maksudmu?”
“Begini, Charles sangat menginginkan wanita yang kamu kirim
untuk menemaninya beberapa waktu lalu. Dan sekarang dia ingin agar dia terbang
ke Milan untuk sebuah pesta,
semacam perayaan perusahaannya.”
“Dia bilang begitu padamu?”
“Ya. Sejujurnya dia sudah mengirimiku tiket agar kamu
berikan pada dia.”
Aku hanya berdiri disana, mencoba untuk menyerap intisari
dari semua ini. Tenggorokanku terasa kering.
“Kenapa dia tidak mengirimkannya langsung saja padanya?”
tanya Henry.
“Kurasa dia tak memberinya alamatnya.”
“Atau nomer telephonnya,” tambah Henry, menatapku seakan
mencari sebuah jawaban dari semua keanehan ini.
“Jangan melihatku. Aku tak begitu mengenal Aman…” Kuhentikan
diriku sebelum kusebutkan nama isteriku. Tak ada gunanya memberi Henry
informasi yang pasti sudah dia tahu.
“Ya, itu dia. Amanda! Charles bilang padaku namanya, tapi
aku lupa. Aku mestinya mengingatnya. Nama isterimu Amanda juga, kan ?”
Kuberi dia selamat atas ingatannya. Henry belum pernah
bertemu dengan Amanda, tapi aku yakin kalau namanya sudah sering dia dengar.
Aku hendak minta diri, tapi Henry, tangannya masih merangkulku, meremas bahuku
sebentar dan mengatakan padaku jika aku kesuliatan menghubungi Amanda, aku
harus memberitahunya.
“Hal terakhir yang akan kita lakukan adalah mengecewakan si
Charles tua. Aku tak perlu mengingatkanmu, ordernya untuk tahun depan nilainya
hampir satu setengah miliar. Bersih.”
“Sebanyak itu?”
“Benar. Dan itu tak termasuk hitungan keuntungan lain yang
kita dapat dari menjadi supplier utama Charles di tahun depan. Hei, si Amanda
ini tak akan mengecewakan dia kan ?”
“Aku, mm, kurasa tidak,” jawabku.
Sisa hari itu terasa berkabut bagiku dan aku pulang kerumah
dengan wajah kusut.
“Ada masalah,
sayang?” Amanda bertanya saat dinner.
“Urusan bisnis. Hanya semua omong kosong saat dikantor,”
jawabku, tak tahu mesti bagaimana menyikapi perkataan Henry tadi.
“Kamu bisa mengambil cuti, manis. Kita bisa berlibur
bersama. Bagaimana menurutmu? Bukankah kedengarannya bagus?”
“Ya. Boleh juga,” jawabku.
“Kita harus pergi ke suatu tempat dimana kita bisa habiskan
waktu hanya berdua saja,” sambung Amanda, suaranya terdengar hangat dan mesra.
Malam itu kami pergi tidur lebih awal dari biasanya. Amanda
membantuku membersihkan sesaknya kepalaku dengan memberi tubuhku pijatan.
“Tak usah pakai boxers. Aku tak mau ada yang menghalangi
pijatanku,” perintahnya, menggoda.
Amanda membuatku sangat rileks, mengelus leherku,
punggungku, begitupun kaki dan pahaku, dan dalam sepuluh menit berikutnya aku
hampir tertidur. Lalu kudengar dia mengucapkan sesuatu. Dia memintaku untuk
berbalik, terlentang. Kulirikkan pandangan. Dia sudah lepas pakaian tidurnya
dan kini berdiri dalam keadaan mengenakan busana kala terlahir, telanjang
bulat, menggosokkan minyak pijat segar ditelapak tangannya. Hanya ada sedikit
penerangan di dalam kamar, namun aku tak butuh cahaya lebih untuk dapat melihat
pancaran nakal di kedua mata indahnya.
“Jangan tidur dulu, sayang. Pijatanmu belumlah selesai,”
ucapnya, mengirimkan telapak tangannya ke dada dan perutku.
Belum pernah kukunjungi panti-panti pijat seperti banyak
diceritakan temanku, tapi mereka menceritakan kalau para gadis pemijat disana
tak akan membiarkan satupun bagian tubuhmu tak tersentuh. Pijatan semacam
itulah yang kudapat dari Amanda malam itu. Tangannya yang berlumur minyak
menari menelusuri sisi tubuhku, naik turun di pahaku, naik ke dada, tanpa
sedikitpun menyentuh bagian pribadiku, pada awalnya. Entah bagaimana, dengan
cepat, tangan kecilnya yang hangat sudah berada di batang penis dan buah
zakarku, meluncur naik turun, memanjakanku.
“Iya kan ,
senang tak tidur dulu demi bagian yang ini?”
“Sayang, tak mungkin aku bisa tidur karena ini!”
Amanda tertawa manja pelan, mengamati pekerjaan tangannya.
Aku sudah berdiri tegak dan keras untuknya, dan telah siap untuk segalanya,
yang ada dalam benaknya, yang mana, seiring merambatnya waktu, adalah
menunggangi batang penisku. Setelah melumuriku seluruhnya, dia memposisikan
tubuhnya diatasku dan perlahan menurunkan pantatnya ketubuhku. Hebat! Betapa
pelumuran yang manis. Diantara minyak yang dia lumurkan dibatang penisku dan
cairan naturalnya sendiri, segera saja aku tenggelam seluruhnya didalam
tubuhnya. Dan kemudian dia mulai bergerak. Pemandangan tubuhnya yang bergerak
naik turun diatasku, sangat, seperti yang sering mereka bilang dalam iklan
komersil, tak terkira!
Kamu tahu, semenjak kencannya dengan Charles, dia berubah
begitu liar dan sangat hot diatas ranjang. Aku berani bersumpah demi apapun,
ini seperti kamu melihat film porno saja.
***
#AMANDA
Kutelephone Marsha setiap hari dalam minggu itu. Tak ada
kabar. Tak ada kabar baik. Dia telah menghubungi beberapa temannya yang dia
pikir akan mungkin menikmati berkencan dengan pria beristeri yang menarik tanpa
ada ikatan, tapi belum ada yang tertarik. Tapi Amanda masih belum menyerah.
“Aku masih belum menemukan pilihan yang paling tepat,
Amanda. Percaya saja padaku, ini akan berhasil.”
Aku juga menginginkannya berhasil, meskipun jika kamu
bertanya padaku kenapa, kamu akan mendapatkan campuran jawaban. Tentu, ini akan
membuatku lebih mudah untuk mengaku, karena Kevin juga melakukan hal yang sama
padaku. Disisi yang lain, jika Kevin bersetubuh dengan wanita lain, aku akan
menganggap itu sebagai lampu hijau untuk melanjutkan kesenangan dan permainanku
sendiri..
Kubayangkan tentang kencan terlarangku dengan Charles. Aku
sangat senang dengan dua kencanku bersamanya. Aku tak akan merasa keberatan
untuk menemaninya berkeliling kota
jika dia datang ke kota ini lagi.
Dan kemudian, kencan semalamku dengan Opick, hmmm… itu malam yang sangat gila!
Sebagaimana besarnya rasa cinta dan sayangku pada suamiku,
Kevin, kurasa aku rela untuk membagi dirinya dengan wanita lain. Kurasa kalau
aku rela membaginya tentu sebaliknya juga dia akan rela membagi diriku dengan
pria lain. Itu masuk akal, bukan? Tapi jika berpikir realistis, aku masih
merasa ragu dengan hasil akhir dari rencana Marsha. Kevin tak akan memakan
umpannya dan aku tetap harus mengatakan padanya kenyataan jujur yang
menyakitkan.
***
#KEVIN
Hari Jum’at dalam minggu tersebut, aku mendapat sebuah
kunjungan yang sangat menarik. Resepsionis dilantai bawah menghubungiku.
“Kevin, ada seorang wanita disini yang ingin bertemu denganmu. Apa kamu sedang
menunggu seseorang?”
Aku tidak sedang menunggu seseorang, tapi aku tidak sedang
mengerjakan sesuatu yang akan terganggu untuk waktu sekitar lima
menitan, jadi aku putuskan untuk menemui wanita tersebut dan melihat apa yang dia
mau.
“Hai. Nama saya Dewi. Saya dengar anda sedang
mempertimbangkan untuk mengembangkan unit anda dan mungkin anda membutuhkan
tenaga tambahan.”
Berdiri dihadapanku, seorang wanita yang sangat muda
kuperkirakan umurnya tak lebih dari 21 tahun. Dia terlihat seperti seorang
model, memakai sepatu bertumit tinggi dan sebuah setelan pakaian bisnis. Rok
yang pendek dan blazer yang tak dikancingkan, memperlihatkan blous satin dengan
belahan rendahnya yang lebih rendah dari busana kantor pada umumnya.
“Maaf, anda dengar dari mana kalau saya sedang mencari
tenaga tambahan?” Kucoba untuk tetap fokus pada matanya, tapi pahanya yang
jenjang dan belahan rendahnya di balik blazer tersebut membuatnya jadi sulit.
“Boleh saya duduk?”
Aku minta maaf karena tidak mempersilahkannya duduk dan
mempersilahkannya dikursi disamping mejaku. Lalu aku melangkah menuju pintu
untuk menutupnya dan kemudian kembali ke tempat dudukku. Dia silangkan pahanya
dan memaksa mataku untuk semakin lekat pada paha mudanya yang berbalut stocking.
Sebelum dia mengucapkan sepatah kata lagi, kutanyakan
kembali darimana dia mendengar kabar kalau aku sedang mencari tenaga tambahan.
“Seorang teman saya kenal dengan salah satu pegawai disini,
tapi saya tak ingat namanya.”
“Temanmu yang bilang kalau aku sedang membutuhkan tenaga
tambahan?”
“Ya, dia bilang kalau anda mungkin sedang mencari seseorang
untuk pekerjaan tak tetap.Untuk menggantikan salah satu pegawai anda yang
sedang liburan.”
“Sedang liburan? Apa temanmu bilang padamu pekerjaan seperti
apa di kantor ini?”
“Pekerjaan kantor yang umum, seperti filing, menjawab
telephone, pergi meeting, semacam itulah.” Saat dia bicara, perlahan dia mulai
melepaskan blazernya, seakan merasa ini sedang dirumahnya sendiri. Sangat
percaya diri, sangat dewasa untuk wanita muda seusianya.
Aku melirik ke arah dadanya. Dengan blazernya sekarang dia
lepas dan blousnya yang berbelahan dada demikian rendah, dadanya seakan
memberiku sebuah undangan yang tak mungkin untuk kulewatkan. Dia tesenyum,
kelihatannya puas karena aku mengamati tubuhnya.
“Dewi, jujur saja, aku tak punya posisi kosong seperti yang
kamu bilang, bahkan untuk posisi tak tetap. Siapapun yang bilang padamu, dia
salah.”
Dia hanya duduk disana untuk beberapa saat, mata hitamnya
mengamatiku. “Namamu Kevin , kan ?”
Aku mengangguk. “Benar, namaku Kevin.”
“Aku sangat membutuhkan pekerjaan, Kevin. Mungkin kamu kenal
seseorang yang memerlukan seorang pekerja keras. Aku bisa diandalkan… untuk
semuanya!”
Kubalas tatapan matanya. Dia bersandar dikursi, membuat
blousnya menempel ketat pada dadanya. Dia tersenyum. “Apapun, Kevin.”
“Dewi, aku akan mencatatnya. Kenapa tak kamu berikan nomer
telephonemu agar aku bisa hubungi?” kusodorkan selembar kertas dan pena
padanya, kalimatnya ‘apapun’ menggema dalam kepalaku.
Dia menggeliat dikursinya lalu membungkuk kearah mejaku.
Saat dia menuliskan nama dan nomer telephonnya, mataku melekat erat pada kedua
payudaranya yang terpampang menakjubkan dan juga sepasang paha yang sempurna,
yang sekarang lebih terbuka karena rok yang dia pakai tersingkap lebih keatas.
Dalam keadaan normal aku akan segera berdiri dan
mengantarnya untuk keluar dari ruanganku, tapi kondisi yang tak kuharapkan di
celanaku ini menjadikan jika aku berdiri tentu akan membuatku merasa malu.
Selama kurang lebih satu jam setelah Dewi berlalu, parfum
yang dia pakai masih tertinggal didalam ruanganku, membuatku dapat mengingat
dengan sangat jelas, seorang wanita muda penggoda, genit yang meninggalkan
kesan teramat mendalam bagi diriku dan batang penisku.
***
#AMANDA
Hari sabtu, sebelum aku menelephone Marsha, dia sudah
menghubungiku lebih dulu.
“Amanda, kamu pasti tak mengira siapa yang aku temui di club
kemarin malam.”
“Kamu benar, aku tak tahu. Jadi, ceritakan padaku.”
“Henry.”
“Henry teman kantor Kevin?”
“Yup, Henry yang itu.”
“Dia datang ke club? Sendiri?”
“Ya, kelihatanny dia datang kesana cari wanita untuk
kencan.”
“Sungguh? Apa dia mendatangimu?”
“Ya. Atau setidaknya dia mencobanya. Aku biarkan dia
membelikanku minum. Dan… aku berdansa dengannya.”
“Bukankah dia sudah agak tua, mungkin umurnya sekitar
enampuluhan?”
“Mungkin, tapi dia masih segar dan punya tubuh yang bagus.
Dia juga kelihatannya cukup familiar. Kurasa kamu pernah berdansa dengannya
saat malam itu kita kesana.”
“Kamu bercanda?”
“Tidak. Sungguh. Aku rasa memang dia. Ngomong-ngomong, ini
yang dia katakan, dia bertanya padaku apa aku kenal dengan wanita yang bernama
Amanda. Bukankah itu gila? Dia bilang umurnya seumuranku, menikah, dan sangat,
sangat sexy.”
“Jangan membual!”
“Aku serius. Aku tanyakan bagaimana dia mengenal Amanda yang
ini.”
“Apa jawabnya?”
“Dia tak menjawab. Hanya bilang kalau dia punya pesan yang
sangat penting untuknya, sesuatu yang mungkin akan membuatnya sangat sangat
bahagia.”
“Tapi dia tak mengatakan yang lebih dari itu?”
“Tidak, tapi ini tentu tentang Charles, kan ?”
“Ya. Apalagi? Dia pasti datang ke kota
ini lagi.”
“Dan pasti Kevin tak begitu senang kamu tahu tentang ini.”
“Iya, dia mungkin curiga kalau kencanku dengan Charles bukan
hanya seperti yang kuceritakan.”
“Itu semakin membuatnya jelas.”
“Apa yang kamu bilang padanya?”
“Kubilang padanya kalau aku mengenal seseorang yang bernama
Amanda yang mirip seperti ciri-cirinya, dan dia memberiku kartu namanya. Aku
tak tahu apa yang dia harapkan dengan ini. Kurasa agar aku memberikannya
padamu.”
“Itu gila. Tentu ada puluhan Amanda berumur 30an dikota ini,
dan dia pikir kalau dia sudah menemukan yang benar?”
“Ya, dia benar bukan?”
“Iya, dia beruntung. Hey, bagaimana dengan perkembangan
rencana besarmu?”
“Sedang berjalan. Belum ada kemajuan berarti, tapi aku sudah
punya seseorang calon pasti.”
“Baguslah. Hubungi aku jika ada kemajuannya. Aku harus
pergi, aku punya ayam dalam oven. Aku sedang membuat kejutan untuk Kevin dengan
masakan favoritnya.”
“Apa dia di rumah?”
“Tidak, dia harus pergi ke kantor untuk mengerjakan sebuah
urusan siang ini.”
“Begitu ya.”
“Akan kutelephone kamu lagi, Marsha.”
“Bye, Amanda.”
***
#KEVIN
Belum pernah kulakukan sesuatu seperti ini. Membuat janji
untuk bertemu dengan Dewi di Sabtu siang di kantorku, demi memberinya saran
untuk mencari kerja, siapa yang sedang bermain api sekarang?
Aku sama sekali tak berpikir kalau ‘meeting’ kami kali ini
akan murni bisnis. Dan aku yakin kalau dia juga mempunyai pikiran yang sama
pula. Beberapa kali percakapan kami ditelephone bukanlah sebuah percakapan yang
professional. Dewi bicara padaku seakan dia sudah lama mengenalku, seakan kami
sepasang sahabat, dan seakan kita bisa menjadi lebih dari sekedar teman jika
aku mau. Dengan menyetujui untuk bertemu dengannya seperti ini, aku akui kalau
‘lebih dari sekedar teman’ kenyataannya, itu yang aku harapkan.
Dia muncul dengan memakai sweater dan jeans, namun kalau
hanya itu saja yang kugambarkan tentang penampilannya, kamu hanya tahu sebagian
saja. Pertama, sweater yang dipakaianya, tetap memperlihatkan padaku belahan
dada yang sama menakjubkannya dengan yang kulihat saat pertama kali kami
bertemu.
Dia pakai sebuah bra dibalik sweaternya, tapi itu seakan tak
ada gunanya, karena payudaranya tetap bergerak dengan begitu menggoda didalam
sweaternya. Sweater tersebut, seakan kehabisan bahan sebelum menyentuh
pinggangnya, memperlihatkan sedikit kulit perutnya yang putih dan rata. Lalu
jeansnya, dengan model pinggul rendah, begitu ketat dan seakan mau lepas turun
dari pinggulnya.
Rambutnya diikat keatas, membuatnya terlihat berpenampilan
lebih dewasa. Sekarang dia terlihat berusia 25 atau lebih. Matanya yang hitam
pekat, terlihat eksotis seperti sebelumnya.
Keseluruhan paket tersebut memberikan efek instant padaku,
sebuah efek singkat yang menyerang penis seorang pria. Kali ini, entah
bagaimana, aku tak berusaha untuk menutupinya, saat kupersilahkan dia untuk
duduk disofa, sebuah tempat yang lebih nyaman untuk memulai sebuah meeting,
apapun jenisnya.
Kumulai interview dengan pengalaman yang dia punya, tapi
dengan sigap dia mengalihkan pembicaraan ke arah yang lebih jauh.
“Aku tak punya banyak pengalaman dengan pria beristeri, tapi
aku mau belajar,” katanya, membuatku tahu dengan matanya kalau dia menyadari
tonjolan didepan jeansku. Kami berdua duduk diatas sofa kulit saat itu.
“Kamu tahu, Dewi, sweatermu… itu seharusnya tidak kamu pakai
untuk sebuah interview pekerjaaan. Kamu tahu itu kan ?”
ucapku, mencoba untuk berkilah dari maksud sebenarnya dari meeting kami ini.
“Oh, aku seharusnya tak memakai ini? Itu yang kamu maksud?”
dia tertawa manja, tangannya membelai bagian depan dari sweater ketatnya,
sebelum akhirnya meluncur turun dan menggenggam bagian bawahnya. Kusaksikan dia
dengan cepat mengangkatnya melewati kepalanya dengan satu gerakan yang lembut.
“Lebih baik?” tanyanya, senyumnya terlihat sangat tak
bersalah, payudaranya terlihat hampir tumpah dari balik penutupnya yang minim.
“Lebih baik, buatku, kurasa,” gumamku. “Kamu memiliki
sepasang payudara yang indah, Dewi.”
“Thanks, Kevin. Aku bisa rasa kalau kamu menyukainya,”
tambahnya, melirik ke bawah selangkanganku.
“Pria mana yang tidak?”
“Bicara tentang keindahan,” katanya, tangannya mulai merayap
naik di pahaku dan bermuara pada ereksiku, “Apa yang harus dilakukan oleh
seorang wanita untuk bisa mengintip keindahan yang ini?”
“Kurasa sebuah ciuman bisa,” candaku.
“Itu saja?” jawabnya. “Ini.”
Tubuhnya membungkuk dan menciumku, payudaranya yang nikmat
menekanku. Formalitas dari ‘meeting’ ini lenyap sudah. Tangannya tetap berada
di selangkanganku. Bibirnya terasa lembut dan hangat, lidah kami bertemu. Aku
yakin kalau aku tengah berada ditengah mimpi yang akan usai setiap saat dan
wanita muda yang telanjang bagian atas tubuhnya ini memberikan tubuhnya untukku
melebihi mimpi basah seorang pria yang telah menikah.
“Ok, sekarang aku harus melihatnya,” ucapnya, menyibukkan
diri dengan sabukku, dan kemudian disusul kancing jeans dan resleitingnya. Dia
menyuruhku untuk berdiri dan saat aku melakukannya, dia menurunkan jeansku
hingga lutut. Seingatku, aku belum pernah bermimpi dengan berdiri. Ini pasti
benar-benar terjadi.
“Hmm, ” dia menggumam, mengamati bagaimana batang penisku
membuat sebuah tonjolan pada boxerku.
“Oh, Kevin!” dia tertawa genit, tangannya merabaiku. Dan
kemudian, menyentakkan turun boxer yang kupakai hingga paha “Ooh, kamu begitu
besar!”
Aku berdiri disana, memandanginya dibawahku saat dia
memegangi batang penisku dengan kedua tangannya. Dia merupakan sebuah
pemandangan yang begitu menggairahkan.
“Belum pernah kurasakan penis seorang pria beristeri
sebelumnya, Kevin. Kamu keberatan… kalau aku…”
Kugelengkan kepala, kuamati bagaimana matanya matanya
berbinar dan bagaimana payudaranya bergoyang dibalik bra kecilnya. Dan kemudian
kuamati bagaiman bibirnya terasa pada batang penisku. Dia masukkan seluruh
kepala penisku ke dalam mulutnya dan menghisapnya lembut. Tak tergesa, hanya
sebuah hisapan yang lembut. Terasa memabukkan. Aku tak memiliki kata untuk
mendiskripsikan sensasi dari mulut Dewi yang bekerja dibatang penisku.
Sepanjang waktu dia menghisapku, aku terus berpikir betapa sangat inginnya agar
dia lepas dari jeansnya dan berbaring.
Aku harus menghentikannya, aku mau melihatnya telanjang.
Dia tertawa manja saat melucuti pakaiannya yang tersisa,
terlebih ketika kubantu dia melepaskan celana dalam model thong yang dia pakai.
Untuk sebuah alasan, itu membuatnya begitu terangsang.
Kami bersetubuh diatas sofa, atau setidaknya memulainya
diatas sofa. Aku bagai berada diatas ular betina yang terus menggeliat
mengimbangi setiap tusukanku. Dengan cepat kepalanya menggantung dipinggir
sofa, lalu bahunya. Kami berguling keatas lantai, batang penisku tertancap
begitu dalam di tubuhnya. Dia mengerangkan namaku berulang-ulang, tangannya
mengunci pantatku, membuatnya tidak mungkin bergerak selain lebih jauh lagi ke
dalam tubuhnya.
Aku tak pernah tahu kalau berselingkuh akan terasa begitu
indah.
***
#AMANDA
Hari minggu siang, Kevin akan menyaksikan pertandingan bola
di televisi. Biasanya beberapa temannya datang kerumah atau dia yang ke rumah
mereka untuk nonton bersama. Hari ini, teman Kevin yang bernama Sandro yang
menjadi tuan rumah. Jadi saat Marsha menelephonku, aku sendirian dirumah dan
baru saja selesai membersihkan rumah.
“Amanda, aku bertemu Henry lagi.”
“Kemarin malam?”
“Iya. Kukatakan padanya kalau aku sudah bertemu denganmu dan
kemudian kusebutkan nama Charles. Dan matanya terlihat berbinar sangat cerah!
Dan apa kamu siap untuk ini… dia mengeluarkan beberapa lembar tiket pesawat, ke
Milan , dan dia bilang itu untuk
Amanda. Charles ingin dia terbang ke Milan
untuk sebuah pesta yang dia adakan.”
“Kamu mengarangnya.”
“Sumpah, demi Tuhan aku tak mengarangnya, Amanda.”
“Astaga!”
“Kamu percaya ini?”
“Aku ingin pergi, Marsha.”
“Aku yakin itu, itulah kenapa kuambil tiketnya.”
“Astaga! Marsha, aku mendapatkan begitu banyak kesenangan
bersama Charles. Dia begitu berbeda dari Kevin. Tunggu sebentar! Kevin tak akan
mengijinkanku. Sial! Baru saja aku bisa membayangkan sedang terbang ke Milan ,”
aku menggerutu, kembali pada kenyataan.
“Tunggu dulu. Bagaimana jika…”
“Aku suka kalau kamu jadi kreatif.”
“Bagaimana jika kamu diundang untuk acara pernikahan
keluarga atau reuni sekolah di kota
lain pada minggu yang sama dengan pesta itu?”
“Maksudmu, ditempat lain diluar kota ?”
“Ya. Mungkin bisa di Milan ,
meskipun mungkin terdengar agak mencurigakan.”
“Kapan Charles mengadakan pestanya? Kamu tahu?”
“Dua minggu ke depan. Kamu akan terbang hari Jum’at pagi dan
pulang hari Minggu malam.”
“Apa kamu punya waktu yang cukup untuk mengatur sesuatu?”
“Mungkin. Aku punya seorang teman di Milan .
Dia bisa menghubungimu. Anggap saja dia teman satu kontrakan dulu dan sekarang
akan menikah dan dia memaksamu untuk hadir di pesta pernikahannya. Kamu tak mau
mengecewakan dia, kan ?”
“Tentu saja tidak,” jawabku geli.
“Amanda, ini begitu nikmat. Kamu tahu kalau kamu membuatku
berpikir mesum?”
“Aku jadi basah membayangkan semua ini.”
“Kamu mesum!”
“Ya!” aku tertawa, tanganku menyelusup kedalam celana
dalamku untuk memastikan seberapa basahnya aku.
Aku memang sudah begitu basah.
***
#KEVIN
Aku pergi menemui Henry pagi ini untuk mengabarinya kalau
aku tak berhasil menghubungi Amanda, tapi yang mengejutkanku, dia bilang tak
usah menghawatirkan tentang itu.
“Semuanya sudah beres,” katanya.
“Maaf?”
“Aku bertemu dengan seseorang yang kenal dengan Amanda,”
terangnya. “Seorang teman wanitanya. Dan semuanya sudah beres. Amanda akan
melakukannya. Aku akan pastikan kalau kamu akan mendapatkan kenaikan bonus yang
bagus di tahun ini, Kevin. Bagaimanapun juga, kamulah yang sudah mengenalkan
Amanda pada Charles pertama kali.”
“Uh, thanks, Henry. Thanks.”
“Jangan sungkan.”
Kurasa aku berjalan dengan menyeret kaki keluar dari kantor
Henry. Aku sangat bingung dan begitu ingin segera bicara dengan Amanda begitu
sampai di rumah.
Kapan dia akan mengatakan padaku tentang terbangnya ke Milan
dan kenapa dia pikir kalau akau akan mengijinkannya? Itu pertanyaan yang harus
kutemukan jawabnya, namun saat waktu berlalu, aku tak pernah menanyainya.
Amanda mendapat telephone dari seorang temannya dari Milan ,
seseorang teman lamanya sewaktu kuliah. Dan sebagai seorang sahabat lama, dia
ingin agar dia datang ke pernikahannya.
“Kapan itu sayang?” tanyaku.
“Dua minggu lagi. Kamu tak keberatan, kan ?”
“Kamu tak keberatan kan ,
sayang?”
“Apa kita ada acara minggu tersebut.” tanyaku.
“Tidak, sejauh yang kutahu di agendaku tidak ada,” jawabnya.
“Biar ku cek dulu,” jawabku, dan saat dia melangkah keluar
dari ruang ini, aku pencet nomer telephone.
“Dewi, aku ingin bertemu denganmu lagi. Kamu bisa?”
Dia bisa.
“Bagus. Kamu ada acara dua minggu ke depan?”
“Belum.”
“Bagaimana kalau kita kencan?”
“Ooh, aku sangat senang bisa kencan denganmu, Kevin. Apa
kita sedang membicarakan tentang malam Minggu, atau apa?”
“Aku sedang berpikir tentang malam Minggu dan juga Minggu
pagi.”
“Oh, Kevin, itu kedengarannya sangat nikmat! Tapi bagaimana
caramu bisa pergi dari isterimu?”
“Itu sudah kuatur, manis. Akan kuhubungi lagi kamu nanti.”
Amanda sedang melihat televisi. Aku duduk disampingnya dan
merengkuh bahunya.
“Ada apa,
sayang?” tanyanya, tangannya meregangkan pahaku.
“Aku sudah mempertimbangkan tentang pernikahan temanmu…”
“Jadi, kamu mengijinkannya?”
Kupeluk dia, “Ya. Aku tak melihat di jadwalku yang
membutuhkan untuk kamu temani.”
Dia tersenyum lebar dan menciumku. “Oh, sayang, terima
kasih. Kamu benar-benar tak apa-apa kalau akau jadi pergi?”
“Aku ingin kamu pergi. Dan selamat bersenang-senang.”
“Thanks,” jawabnya, menciumku lagi. Tangannya merambat
menaiki pahaku. Kubalas ciumannya. Mulut kami terbuka, saling menyambut lidah.
Kami bercinta di atas sofa tersebut.
***
#AMANDA
Dalam amplop tiketku ada sepucuk surat
dari Charles. Sudah kubaca berulang kali dalam penerbanganku ke Milan .
Tanpa surat ini aku hanyalah
seorang turis atau wanita karir yang sedang dalam perjalanan pentingnya untuk
sebuah meeting penting, dengan surat
ini aku lain. Surat ini membuatku
berada di dalam cahaya lain. Serasa bagaikan pertentangan antara Amanda si
malaikat dengan Amanda si iblis, namun aku lebih mendengarkan bisikan si iblis.
Sekarang sepucuk surat ini tak
lebih dari selembar kertas dengan tulisan tangan diatasnya yang membuatku
gelisah diatas tempat dudukku setiap kali aku membacanya.
Dear Amanda,
Aku sungguh merasa tersanjung saat kamu menerima undanganku
untuk dating ke pestaku. Pesta ini untuk memperingati tonggak kesuksesan dari
sejarah perusahaanku. Kehadiranmu, bagaimanapun, akan membuatnya menjadi salah
satu momen yang takkan terlupakan dalam hidupku.
Aku menyesal tak bisa menyambutmu di bandara (benturan
jadwal). Aku sudah pesan sebuah kamar untukmu, atas namaku, di hotel
F*******ons. Hotel tersebut berada sekitar setengah jam dari bandara. Sebuah
mobil perusahaan akan menungumu di bandara.
Aku akan menghubungimu setelah kamu check-in. Aku menunggu
untuk menghabiskan waktu bersamamu.
Teman baikmu,
Charles
PS. Nikmatilah penerbanganmu, Amanda. Akan kamu temukan
beberapa pakaian ganti di kamarmu.
***
Seorang pria dengan setelan jashitam, memegangi selembar
kertas bertuliskan ‘Amanda’, menyambutuku di bandara. Dia mengawalku menuju
sebuah mobil mewah, dan seperti yang dikatakan Charles, aku sampai di sebuah
hotel, lebih tepatnya, sebuah hotel bintang lima .
Aku separuh berharap kalau Charles akan menungguku saat
kubuka pintu kamar hotelku. Jantungku berdebar.
Aku telah menempuh perjalanan sedemikian jauh dan lama dan
banyak membayangkan sepanjang waktu tersebut tentang keinginanku yang memalukan
dan tak tertahankan, katakanlah hasratku, untuk terbang sejauh ini demi bertemu
dengan seorang pria yang tak begitu kukenal, selain fakta jika dia sungguh
teramat menyenangkan diatas atau diluar ranjang. Lalu, tentu saja, dengan dalih
yang kuutarakan pada suamiku untuk mendapat ijinnya agar aku bisa pergi kemari.
Aku berharap aku bisa mengatakan padanya, sayang, aku mencintaimu, tapi
perjalanan ini, meskipun ini semua hanyalah tentang sebuah seks dengan pria
lain, tak akan bisa mengurangi rasa cintaku terhadapmu. Perjalanan ini hanya
tentang seks saja, tak ada yang lain. Tentu saja, Kevin tak akan mungkin
memahami itu. Dia begitu setia padaku…
Kubuka pintu tersebut dan memandang berkeliling untuk
mencari Charles. Kamar yang dia pesan untukku mempunyai sebuah balkon kecil
dengan sebuah pemandangan indah dari laguna nan biru. Apa aku mengatakan sebuah
kamar? Ini lebih menyerupai sebuah apartemen kecil. Ada sebuah kitchen area,
lengkap dengan cabinet yang dipenuhi botol minuman, sebuah ruang duduk dengan
sofa dan arm chairnya, kamar mandi berukuran besar dengan ruang untuk wahtafel
yang terpisah, terhubung pada kamar tidur dengan ruang rias, dilengkapi sebuah
almari pakaian besar, dan sebuah poster bed berukuran super besar. Lukisan
tangan dengan pemandangan indah menghiasi dinding. Charles, disisi lain, tak
kutemukan dimanapun.
Kuakhiri turku
dikamar hotel ini pada area tidur dimana kurebah diatas kasur empuk berukuran
super besar, hanya untuk menemukan sebuah amplop, ditujukan padaku, tergeletak
tepat ditengah ranjang. Penasaran, aku bangkit dan kurobek amplop tersebut.
Amanda,
Selamat datang. Kuharap penerbanganmu menyenangkan dan
sopirku, Richard, membuat perjalanan daratmu terasa menyenangkan untukmu.
Di kamar mandi akan kamu temukan bermacam pilihan cairan
mandi dengan aroma herbal. Pilihlah yang kamu suka dan segarkan dirimu. Itu
akan membantumu rileks setelah perjalanan panjangmu. Dan juga, jangan sungkan
untuk menghubungi room service untuk apapun yang kamu butuhkan.
Aku akan merasa senang menemuimu untuk minum, dan dinner
jika kamu merasa lapar. Aku akan berada di lobby sekitar jam 7:00 .
Dalam almari pakaian, akan kamu temukan, diantara isinya,
sebuah gaun sutera putih, yang kurasa akan sempurna untuk acara nanti. Ada
sepasang sepatu yang bisa kamu pasangkan dengan gaun tersebut, kamu akan
temukan beberapa pilihan lingerie. Pilihanku, kalau kamu penasaran, adalah
sebuah thong dengan bra pasangannya. Akan kamu temukan sebuah stocking berwarna
putih dalam laci paling bawah diantar stocking yang lainnya. Tentu saja, manis,
apapun yang ingin kamu pakai, aku akan merasa senang. Kamu terlihat menawan
mengenakan apa saja.
Kamu akan menjadi pusat perhatian di dalam pesta nanti. Aku
yakin itu. Aku merasa sangat bergairah kamu berada disini!
Charles
Kuambil nafas dalam dan rebah kembali ke atas ranjang.
Terasa menyenangkan mendapat kabar dari dia, meskipun hanya lewat sepucuk surat .
Jadi, dia juga bergairah? Aku senang.
Kuturuti sarannya, menikmati waktuku untuk menyegarkan diri,
memanjakan kulitku dengan cairan beraroma kelapa. Setelahnya, saat kuperiksa
almari dan laci demi laci, takjub dengan pakain cantik yang disiapkan Charles.
Sebuah laci besar berisikan hanya lingerie saja. Di rumah, aku akan memilih
pakaian dalam yang simple dan sesuai, tapi di hotel mewah ini, sangat jauh
jaraknya dari rumah, tubuhku serasa gemetar kala kuambil dari beberapa pilihan
pakain dalam yang menggiurkan dan mengamatinya. Menyadari kalau Charles tak
hanya telah memilihnya secara pribadi, namun juga menaruhnya sendiri di sini,
untuk aku.
Sebuah busana berwarna putih yang disarankan oleh Charles
terasa sangat pas, termasuk thong dan bra kecilnya. Kevin pasti akan menyukai
melihat penampilanku dengan gaun ini. Ini masih terlihat konservatif tapi mampu
memperlihatkan tiap lekuk tubuhku, tak terlalu ketat, tapi terlihat mampu
memperlihatkan kalau aku telah merawat tubuhku dengan baik.
***
Setelah merasa segar, aku menuju ke lobby, namun tak kulihat
tanda- tanda keberadaan Charles. Ini hampir jam tujuh, dan kuingat ucapannya,
sekitar jam 7:00. Kuambil tempat dengan sebuah pemandangan ke laut. Seorang
pelayan menghampiri dan menanyakan apa aku membutuhkan sesuatu. Kukatak padanya
kalau aku sedang menunggu seseorang. Itu saat sopir Charles muncul.
“Selamat malam, nyonya, tuan Charles terlambat dan beliau
memintaku untuk menemani anda sampai beliau datang, itu jika anda tidak memilih
untuk tak diganggu.”
“Richard, benar?”
“Ya, nyonya.”
“Namaku Amanda, bukan nyonya,” kubenarkan dia dengan
tersenyum.
Dia balas tersenyum, meminta maaf.
“Aku akan senang ada yang menemani sambil menunggu. Silahkan
duduk.”
Richard mengambil duduk didepanku dan menyodorkan padaku
sebuah menu minuman. Kuamati menu tersebut, tapi dia telah memilih sebotol wine
dan memesan dua buah gelas. “Jika anda berubah pikiran,” ucapnya.
Tentu saja kucicipi wine-nya saat datang. Rasanya begitu
lembut, tentu harganya bagus. Kutanyai Richard berbagai pertanyaan tentang
charles dan perusahaannya, dan juga tentang pesta nanti. Kupelajari bahwa
Charles yang memegang kendali dari perusahaan tersebut, yang membuatku
terkejut, namun lebih mengejutkanku lagi saat kutahu kalau Charles sudah
menikah.
“Maaf nyonya, saya kira anda sudah tahu,” katanya.
“Bukan masalah. Aku juga sudah menikah,” jawabku, lalu
kusadar jika ini sebuah informasi yang terlalu jauh untuk dia tahu.
Aku juga jadi tahu kalau pestanya nanti dijadwalkan hari
Sabtu malam jam 7:00 di hotel ini
juga.
“Perusahaan sudah membooking beberapa ruang tamu dan dua
buah ruang konferensi yang besar. Kami mengundang sekitar 200 tamu,” kata
Richard, lalu tiba-tiba dia mengambil sebuah pager dari jasnya. “Dari Charles.
Beliau sudah disini.”
Kusapukan pandangan ke sekitar saat Richard dengan cepat
berdiri dan memohon diri.
“Sungguh menyenangkan mengobrol denganmu, Amanda. Mungkin
kita bisa bertemu lagi di pesta nanti.”
“Ya. Mungkin,” jawabku.
Sebuah langkah kaki dari belakangku membuatku berbalik
diatas kursiku.
“Charles!”
“Amanda!”
Dengan gembira, aku berdiri. Kami saling menyambut dengan
sebuah pelukan dan kecupan ringan di bibir.
Charles mengenakan sebuah kemeja bercorak bunga dan celana
panjang berwarna krem, sebuah kalung emas elegan menghiasi lehernya.
“Sangat senang rasanya berjumpa denganmu, Amanda. Aku sangat
gembira kamu bisa dating di akhir pekan ini.”
“Aku juga,” jawabku, mengamati matanya.
“Ngomong ngomong, gaunnya sangat cantik kamu pakai. Kamu
suka?”
Aku mengangguk. “Kamu punya selera yang bagus.”
“Terima kasih. Kamu juga,” balasnya, memegangi lenganku dan
mengamati sekujur tubuhku. “Jadi, apa kamu lapar?” tanyanya.
Kujawab tidak, itu jujur. Aku begitu gembira dan merasa
sedikit melayang karena wine tadi yang ‘kucicipi’ saat menunggunya. Makanan
adalah hal terakhir dalam benakku.
“Kamu suka kamarmu?”
“Begitu luas! Ya. Aku sangat menyukainya.”
“Kamu yakin tak mau makan?”
“Aku yakin. Kalau kamu?”
“Oh, aku sangat lapar,” jawabnya, matanya berbinar. “Untuk
kamu.”
“Kamu dulu pernah mengundangku ke kamar hotelmu. Bagaimana
kalau aku membalas undanganmu?”
“Aku akan merasa sangat tersanjung,” jawabnya.
Kamarku hanya beberapa menit jauhnya dari lobby. Charles dan
aku berjalan perlan dengan saling merangkul layaknya sepasang kekasih. Dengan
sepatu bertumit tinggi, aku jadi jauh lebih tinggi darinya. Tercium aroma
cerutu dan cologne darinya seperti saat ‘kesalahan dalam pernikahanku’ yang
pertama dulu, dan tentu saja seperti ‘kesalahannya’ juga. Terasa lucu setelah
mengetahui kalau kita berdua sudah saling terikat.
Beberapa tamu hotel terlihat tertarik akan keberadaan kami,
kurasa perbedaan usia kami yang menarik perhatian mereka. Banyak orang
mengatakan kalau aku terlihat masih berusia dua puluhan, dan Charles, dengan
rambut tipisnya yang mulai berwarna putih, tampak berumur 53 tahun.
***
Begitu berada dalam kamar, kami saling menyambut dengan
saling melumat bibir. Mulut Charles melekat dibibirku, lidah kami saling
mengucap halo dan bertukar sambutannya sendiri yang lebih intim. Dari
belakangku, kurasakan tangannya mencengkeram ujung bawah gaunku dan mengagngkatnya
keatasa, melewati pantatku, hingga kedua telapak tangannya yang besar berada
pada bongkahan pantatku, yang masih tertutupi celana dalam thong milikku.
“Oh, Amanda,” bisiknya, sambil meremas pantatku. “Amandaku
yang manis!”
Kubuka kancing atas dari kemejanya, dan menelusupkan
tanganku untuk meraba dada berbulunya.
Dia tersenyum dan membiarkanku melepas kancing yang lain
sebelum mengatakan padakau kalau dia ingin melihatku tanpa gaun.
“Masih pria tua yang nakal, hah?” kataku, menyeringai dengan
gairah.
“Aku senang.” Matanya mengatakan padaku betapa senangnya dia
betemu denganku.
Sejenak kemudian, aku berdiri dihadapannya, hampir
telanjang, kulitku yang putih melebur dalam putihnya warna lingerie yang tak
begitu bisa merahasiakan anatomi rahasiaku. Charles, tampak begitu puas dengan
pilihannya pada pakaian dalam yang kupakai dan bagaimana itu terlihat serasi
ditubuhku, dia pegang tanganku dan membimbingku menuju balkon. Prifasi yang
terbentuk oleh dinding ditiap sisi balkon tersebut seakan menyambut kami,
kubuat diriku rileks, setengah telanjang atau tidak, malam ini terasa hangat
dan sepoi-sepoi. Lengan Charles masih melingkar memeluk tubuhku saat kami
berdiri disana dan berbincang tentang pesawat dan bandara, cuaca disini, dan
kami begitu menikmati udara malam dan pemandangan laguna nan biru. Tak satupun
dari kami yang menyinggung tentang pasangan masing-masing.
“Amanda, kamu tak kan
mengira berapa banyak malam yang kuimpikan tentang malam ini… berada bersamamu
sendiri… kembali.”
“Apa kamu pikir kalau aku akan mau datang kesini?” tanyaku.
“Aku tak yakin. Aku berharap dan bermimpi kalau kamu akan
bersedia. Aku bermimpi semua hal tentang kita berdua.”
Kami duduk pada bangku di balkon tersebut. Bibir kami
bertemu lagi, kali ini dengan intensitas lebih hingga tak mampu kami than
tangan kami mulai saling meraba. Kulepaskan sabuk Charles dan menyusupkan
tanganku memasuki celananya untuk menemukan batang penisnya. Tak sebesar yang
kuingat, tapi masih terus membesar.
Diturunkannya tali bra-ku melewati bahu, satu demi satu.
Kedua putingku memperlihatkan apresiasinya setelah terekspos dengan berdiri
mencuat masing-masing. Sepertinya mereka punya pikiran sendiri, selalu mencari
perhatian lebih. Charles meresponnya, memencetnya diantara ibu jari dan jari
tengah, dengan sabar memberi perhatian yang didamba terhadap masing-masing.
Terus kumanjakan batang penisnya yang semakin mengeras,
begitu ingin kurasakan mulutnya di payudaraku. Begitu ingin kurasakan bibirnya
di sekujur tubuhku.
“Oh, Amanda,” desahnya, menurunkan wajahnya ke payudaraku.
Dapat kurasakan batang penisnya tumbuh memanjang dalam boxernya.
Bibirnya yang lapar menangkap salah satu putingku dan
menjadikannya tawanan, menyiksanya dengan tarikan dan hisapan. Kugapai semakin
dalam memasuki boxernya dan kutemukan buah zakarnya, lalu bermain dengan itu.
Mulutnya begitu santai menikmati tangkapannya, lalu membebaskannya, hanya untuk
menangkap tawanan yang satunya lagi.
Tangannya yang satu berada dipinggangku, memegangi tubuhku.
Kupegang dengan tanganku dan menariknya ke perutku dan membimbingnya turun.
Menuju ke celana dalamku.
Kami berciuman lagi, saling meraba,memanjakan diri dengan
kenikmatan.
Menit berikutnya kami masuk kembali ke dalam kamar, tanpa
bra dan celana dalamku, Charles tanpa bajunya.
Charles duduk ditepian ranjangku dan aku bersimpuh diatas
lantai, kulepaskan sepatu dan kaos kakinya dan kubantu dia dengan celana
panjang dan boxernya.
Berlutut diantara pahanya, kuamati ukuran batang penisnya.
Gemuk dan panjang, begitu indah dengan kesempurnaan dua sisi ukurannya.
Kurebahkan bebannya diatas telapak tangan kecilku, layaknya tengah kutimbang
squash cantik di supermarket. Bukan, ini bukanlah squash. Apa yang tengah
kupegang hanya bisa ditemukan dibagian daging. Ini sungguh daging yang segar,
dan disunat dengan tampan!
Aku mengecupnya. Dan kemudian kutatap keatas untuk melihat
reaksinya. Wajahnya tampak berbinar layaknya seorang anak kecil. Mataku tak
kulepas dari matanya dan mulai kekecap rasanya dengan lidahku.
“Ayo. Naik ke atas ranjang bersamaku,” ajaknya, tangannya
memegangi lenganku, memaksaku untuk bangkit.
Aku merangkak ke atas ranjang bersamanya dan dengan cepat
kami saling bergulingan, berpelukan dan berciuman, menikmati keintiman dari
ketelanjangan kami berdua. Sesungguhnya, aku tidaklah telanjang bulat, aku
masih mengenakan stocking dan sepati bertumit tinggku, tapi bagian yang
terpenting, payudara dan vaginaku, telah terpampang tanpa penghalang untuk
Charles agar bisa merabanya, memanjakannya dan menciumnya.
Sekarang, aku menyukai oral seks. Sungguh, tak pernah merasa
cukup. Tapi saat ini, aku telah siap untuk sesuatu yang lebih. Mengharapkan
yang lebih. Tapi itu tak terjadi. Tak terjadi intercourse antara aku dengan
Charles malam itu. Tak ada penetrasi. Itu kalau lidah Charles tak dihitung, dan
giginya, dan sekarang aku jadi memikirkannya, mungkin dia menyusupkan jarinya
satu atau dua ke dalamku. Aku tak ingat. Aku dilahap begitu menyeluruh hingga
aku lupa akan tiap detilnya.
Kucoba untuk melahap dia, tapi dia tak mengijinkanku. Dia
biarkan kuhisap buah zakar dan batangnya, dan bahkan menghisapnya sedikit,
namun saat dia mulai menjadi sangatlah besar, seperti Charles yang kuingat, dia
menjauh.
“Amanda, aku ingin menyimpannya untuk pesta nanti. Aku harap
kamu mengerti.”
Aku merasa kecewa.Aku merasa dihempaskan saat itu, semua
keringat ini dan bersimpuh untuk memuaskannya, seperti dia telah memberiku
kepuasan. Tapi akhirnya aku mengerti. Diusianya sekarang, dia mungkin merasa
agak ragu bisa menjaga staminanya untuk permainan dua malam. Aku akan menunggu
hingga Sabtu malam. Kujatuh terlelap dalam pelukannya, dan terbangun kemudian
saat dia turun dari atas ranjang dan mulai memakai pakaiannya.
“Maafkan aku, sayang. Aku harus pergi,” katanya. “Besok akan
lain ceritanya. Kita akan habiskan sepanjang malam bersama, hanya kita berdua,
OK?”
Kupandangi dia merapikan diri dan membayangkan apakah nanti
isterinya akan mengenali aroma wanita lain ditubuhnya.
***
Terasa sedikit mengecewakan saat terbangun diatas ranjang di
Sabtu pagi sendirian, tanpa Carles, tanpa Kevin dan terasa lebih kecewa
mendapati sebuah pesan suara di telephone.
Charles akan tertahan sepanjang hari. Dia tak bisa menemuiku
hingga saat pesta:
“Sambil menunggu, kasihku, aku telah memesankan tempat untuk
satu jam penuh di spa hotel. Kamu akan menyukainya. Dan juga, ada group kecil
dari perusahaan yang akan berkunjung ke kebun binatang. Kamu boleh bergabung
dengan mereka. Richard akan menemanimu, dia akan menghubungimu siang ini untuk
melihat apa kamu tertarik atau tidak. Ngomong-ngomong, ini adalah kebun
binatang terbaik di negeri ini. Kalau kamu suka binatang, kamu harus
mengunjunginya.
Sekali lagi, aku minta maaf karena tak bisa meluangkan waktu
untukmu siang ini, tapi malam nanti kita akan menghabiskan sepanjang malam
bersama. Hanya aku dan kamu saja!”
Rasa kecewaku perlahan sirna seiring bergulirnya hari.
Pijatan yang kudapat di spa begitu nikmat dan facial-nya membuatku merasa lebih
muda kembali. Sebenarnya aku malas pergi ke kebun binatang, tapi saat kudengar
Richard mendeskripsikan tentang tempat tersebut, termasuk makan siang di sebuah
restoran “tree-house”, aku menyerah. Itu terdengar menjanjikan banyak
kesenangan.
Tentu saja, puncak dari akhir pekanku masihlah pesta nanti
malam.
Aku coba beberapa busana sebelum menjatuhkan pilihan pada
sebuah gaun dengan merek terkenal. Gaunnya berwarna hitam, sutera, ketat,
berpotongan rendah (depan dan belakang), dan memiliki belahan tinggi disalah
satu sisi. Didalamnya, aku pilih sebuah ‘boy short’ stretch berenda dan bra
berpenampang kawat juga dengan bahan stretch berenda. Bra berpenampang kawat
bukanlah kesukaanku, tapi itu satu-satunya bra yang cocok untuk celana dalam
yang kupilih. Juga, menimbang betapa rendahnya potongan gaun dibagian depan
tersebut, bra ini menjadi sempurna. Gaun ini cukup ketat, membuatku tak telalu
mencolok dan lumayan tipis namun tak terlalu memperlihatkan apa yang ada
dibalik gaun. Aku tampil dengan natural dan wajar, termasuk sedikit putting
yang terlihat samar, jika keadaan merangsangnya.
Kusempurnakan busana pestku dengan stocking nakal berwarna
hitam dan sepasang garter belt, sebuah sandal perak bertumit tinggi yang
semakin membuat postur tubuhku menjulang, dan sepasang anting perak yang kubawa
dari rumah. Harus kuakui penampilanku agak sedikit terlihat jalang, tapi busana
ini adalah pilihan Charles, jadi kenapa tak memberinya apa yang dia inginkan?
Bagaimanapun, dialah alsan kenapa aku kemari.
Charles muncul dikamarku pukul tujuh kurang seperempat dan
langsung memberiku hadiah siulan nakal. Kukalungkan lenganku ditubuhnya dan
memberinya sebuah ciuman basah nan lama. Tangannya meluncur turun dipunggungku,
terus turun hingga pantat.
“Hmmmm,” rajukku. “Aku senang kamu masih tertarik.”
“Aku tak akan pernah merasa cukup menikmatimu, Amanda,”
jawabnya. “Tapi sekarang kita punya pesta yang menanti.”
Charles sebelumnya telah memperingatkanku untuk tak makan
sebelum waktu pesta, dan aku senang karena dia telah memperingatkanku.
Makanannya sungguh sempurna dan tersedia dalam jumlah yang banyak. Setiap sudut
dari ballroom utama, selalu ada pria dengan topi chef beserta jaketnya sibuk
dengan pekerjaannya.
Seorang pesulap ditengah ruangan membuat semua orang yang
mengelilinginya berdecak kagum dan bertepuk tangan riuh.
Charles naik ke atas panggung diawal malam itu dan
memberikan pidato sambutan tentang bagaimana bagusnya keberuntungan dan kerja
keras telah menjadikan perusahaan meraih kesuksesan ini.
Setelahnya, lampu utama dimatikan dan lima
orang anggota band mengisi panggung dan mulai melantunkan sebuah lagu yang
kusebut jazzy cowboy swing, sebuah irama yang begitu menyenangkan, dan mudah
untuk dibuat menari. Pasangan-pasangan mulai berkumpul ditengah ruangan. Kucari
Charles disekitarku, tapi tak kulihat dia. Seorang pria seumuranku yang kurasa
tadi naik bersama Charles ke atas panggung memperkenalkan dirinya dan
mengajakku berdansa.
“Amanda, namaku Peter. Aku bekerja dengan Charles.”
Kucari disekelilingku untuk teman kencanku, tak beruntung.
Ruangan ini sekarang jadi begitu gelap dan terasa sulit untuk melihat orang
lain. Hanya satu tempat yang hanya bisa membuatmu mengenali ciri orang lain
adalah di area makanan dan panggung. Ditengah ruangan dimana semua orang sedang
bedansa, sama sekali tanpa penerangan.
Kukatakan pada Peter kalau aku mau berdansa dengannya sampai
Charles datang. Saat waktu berjalan, kudapati kalau dia seorang penari yang
handal, bahkan saat irama mulai berubah lambat, gerak kaki dan tubuhnya begitu
pintar, lembut dan mantap. Dan berdansa dengan begitu dekat, dengan tangannya
melingkari tubuhku, dia merupakan seorang pria gentle sempurna. Bukan hanya
sekali aku dapati dia berusaha untuk mengintip kebalik gaunku atau meraba
tubuhku, seperti yang dilakukan kebanyakan pria di atas lantai dansa. Tentu
saja, terus kuingatkan diriku kalau aku sedang berada di acara perusahaannya
Charles, bukan sedang berada di sebuah club.
Akhirnya Charles muncul, dia menjelaskan kalau ada sebuah
bisnis yang harus dia deal kan.peter mulai berusaha menjauh, tapi Charles
mengintervensinya.
“Apa dia pintar dansa, Amanda?”
Aku tersenyum dan memberi Peter nilai tinggi.
“Kalu begitu, kenapa kalian berdua tidak meneruskan dansanya
selagi aku pergi mengambil minum untuk kita bertiga?”
Selama sekitar satu jam, Charles terus membuatku dibasahi
oleh bermacam campuran minuman yang belum pernah kudengar namanya, dan
memperkenalkanku pada beberapa koleganya, semuanya pria kecuali satu yang
semula kukira adalah seorang pria, berpakaian setelan bisnis, kemeja putih dengan
dasi, seperti kebanyakan pria dipesta ini. Aku senang dia tak memintaku untuk
berdansa dengannya. Aku akan merasa tak nyaman berdansa dengan irama slow
dengan seorang wanita.
Partner dansa favoritku adalah Peter, dan kelihatannya dia
juga menikmati berdansa denganku. Beberapa kali dia menepuk bahu dari teman
Charles yang entah, aku tak mengingat semua namanya, yang tengah berdansa
denganku dan meminta untuk menyela. Hanya sekali dia menunjukkan tanda kalau
dia tertarik lebih dari sekedar tarianku. Itu selama lagu dengan irama yang
sangat slow, dan kami bergerak seakan telah berdansa bersama sekian lama. Kami
berdansa begitu dekat, erat, dan kurasakan dia mulai ereksi. Dengan refleknya
dia berusaha merenggang, merasa jengah. Ingin kukatakan padanya kalau aku tak
apa-apa, tak merasa terganggu, tapi aku tetap diam. Aku berada dipesta untuk
jadi seorang gadis nakal hanya untuk satu pria saja, dan aku sangat tak ingin
Peter mendapat sebuah impressi yang salah.
***
Aku tak lagi menghisap mariyuana semenjak kuliah. Kevin tak
terlalu suka dan juga kebanyakan teman kami. Saat band tengah break, Richard
menghampiriku dan menawarkan apa aku mau mencoba beberapa linting ganja, sambil
mengisyaratkan ke pintu keluar didekatku. Rasa sedikit pusing dari seluruh
minuman tadi, membuatku mengikutinya keluar. Bagaimanapun, ini adalah sebuah
pesta. Kenapa tidak kunikmati semua waktu yang menyenangkan? Kami berjalan
melewati halaman rumput yang terawat rapi menuju area dekat tempat latihan
golf, tempat dimana kami akan sedikit menikmati terbang melayang.
Richard menggandeng tanganku saat kami berdua kembali ke
pesta. Kutanya dia apa dia kira kalau Charles akan marah jika melihat kami
bergandengan tangan.
“Tidak, tuan Charles tak akan apa-apa. Dan lagipula, aku
hanya memegang tanganmu. Kita tidak bercinta atau ang lainnya,” jawabnya.
Aku tertawa tapi tak berkomentar apapun disisa langkah kami.
Aku tengah sibuk mencoba membayangkan bagaimana rasanya disetubuhi oleh pria
yang sedang menggandeng tanganku ini.
Musik yang dilantunkan band tersebut terdengar beda. Apakah
karena pengaruh dari mariyuana atau memang band-nya lain? Aku tak tahu. Aku tak
ambil pusing. Aku hanya merasa kalau aku ngin mebggerakkan tubuhku, menari dan
tak ada alasan untuk menunggu ajakan siapapun. Aku bergabung dengan sekelompok
kecil wanita yang sedng menari sendiri, dan dengan mat terpejam, aku mulai
bergerak seirama musik.
Kuhirup sebuah lagu baru. Iramanya lebih slow, lebih sensual
dari lagu sebelumnya. Terdengar seperti sebuah flute dari bamboo mengalunkan
melodi, tapi mungkin juga hanya suar dari keyboard. Apapun itu, itu merasukiku.
Kuingat itu seperti sebuah suara yang dating dari alam dan binatang. Mungkin
karena pengaruh kebun beinatang yang kukunjungi siang tadi, tapi dapatkudngar
suara suara binatang yang begitu sensual. Seakan aku berubah jadi mereka saat
menari, terkadang aku menjadi ular yang meliuk, terkadang menjadi seekor kuda
pony yang melangkah dengan pelan.
Aku terbangun dari ‘trance-ku’ saat kurasa seseorang
menyentuhku, di pantat. Aku berbalik. Ternyata Charles, tersenyum begitu
bahagia.
“Astaga, kamu terlihat sangat hot saat menari, Amanda!”
Kutarik dia untuk menari bersamaku, meskipun aku tahu kalau
dia tak begitu percaya diri jika berdansa. Lengannya melingkari tubuhku dan
berpura-pura tengah mnari, menggerakkan tubuhnya sedikit ke kira kanan.
Kusambut tubuhnya ke tubuhku dengan menekankan payudaraku padanya dan
memeluknya erat. Dia cium telingaku dan kemudian berbisik.
“Aku menginginkanmu, Amanda. Ayo balik ke kamarmu.”
Tak ada satupun yang bisa mencegahku untuk menyetujui
ajakannya. Aku tengah berada di puncak dunia. Jadi, dengan bergandengan tangan,
kami menyelinap diantara keramaian dan melangkah menuju ke kamarku.
***
Charles menuangkan minuman untuk kami berdua dan kemudian,
menggunakan remote control dari cable system, dia pilih chanel yang memainkan
sebuah background musik berirama lembut. “Rilekslah,” sarannya, dia buka jasnya
dan melonggarkan dasi yang dia pakai.
Kureguk minumanku dan melepaskan gaunku.
“Oh, manis!” erangnya. “Kamu sangat hot!”
“Sangat hot, ya? Apa itu berarti kalau aku akan segera
disetubuhi?” godaku, kutatap lekat matanya agar dia tahu kalau aku sangat,
menginginkannya.
“Telah kujaga tubuhku untukmu,” jawabnya.
“Aku tahu,” ucapku dan berjalan mendekatinya, kugerakkan
tubuhku semenggiurkan mungkin, dengan berhiaskan sandal bertumit tinggi
berwarna perak dan pakaian dalam seksi. Mulai kulepas kancing bajunya.
“Amanda, aku ingin melakukan sesuatu yang sangat special
untukmu malam ini. Sesuatu yang tak akan kamu lupakan.”
“Aku dengarkan,” jawabku, kuangkat naik kemejanya dari
himpitan celananya.
“Kamu percaya padaku, manis?”
“Tentu saja. Aku tak mungkin berada disini jika tidak,”
ucapku, membantunya melepaskan lengannya dari kedua lengan kemejanya.
“Bagus. Aku ingin kamu berbalik,” katanya, menaruh kemejanya
diatas dresser.
Aku suka kejutan, tapi tak bisa kuterka apa yang tengah
disiapkan Charles. Hingga kurasakan tangannya terjulur dari belakangku dan
dengan berhati-hati memasang sebuah syal untuk menutup mataku.
“Oh, ini akan menyenangkan ,” aku tertawa manja. Kevin dan
aku sudah banyak melakukan sesuatu yang berbeda, tapi penutup mata belum pernah
kami lakukan. Aku berdiri tak bergerak, tersenyum sendiri saat Charles
mengikatkan syal dengan erat dibelakang kepalaku. Dia melakukannya dengan baik.
Aku tak bisa melihat apapun.
“Apa kamu akan menuntaskan menelanjangiku?” tanyaku.
“Pasti. Tapi bukan sekarang,” jawabnya, menggandeng
tanganku. “Jangan mengintip.”
“OK, tapi apa yang akan kamu lakukan?” tanyaku penasaran,
saat kudengar dia membuka kunci pintu.
“Kamu percaya padaku, kan ?”
dia bertanya lagi, masih memegangi tanganku.
“Kita mau kemana? Aku tak bisa kemanapun dengan seperti
ini!”
“Kita hanya akan pergi ke kamarku. Hanya beberapa kamar dari
sini, sayang.”
“Beberapa kamar dari sini! Tapi bagaimana kalau seseorang
melihatku… seperti ini?”
“Tak ada yang akan melihatmu, manis. Lagipula, kalaupun ada,
mereka hanya akan merasa iri saja,” dia tertawa, lalu membimbingku keluar.
Kugeretakkan gigiku dan mengikuti Charles yang membimbingku
menyusuri lorong hotel.Ini hanya perjalanan pendek. Kamarnya sangat dekat
dengan kamarku. Syujurlah. Kudengar dia menggunakan kunci kamarnya dan membuka
pintu.
“Ohh, ini sungguh terasa aneh,” kataku dengan suara serak.
“Masuklah,” perintahnya, masih memegangi tanganku.
Kumasuki kamar Charles dengan segera, merasa lega karena tak
terpergok saat menyusuri lorong hotel dengan hanya memakai sandal bertumit
tinggi dan pakaian dalam saja.
“Lewat sini, manis,” ucapnya, membimbingku menuju
ranjangnya. “Rebahlah dan buat dirimu nyaman.”
“Apa kamu bisa melihat sesuatu, sayang?” dia menanyaiku lagi
setelah aku rebah ke atas ranjang, kepalaku di atas bantal yang empuk.
“Aku bahkan tak bisa melihat apa lampu kamarmu menyala atau
tidak,” jawabku nervous.
“Bagus, tapi kamu bisa merasakan, bukan?” dan untuk memberi
ilustrasi dari pertanyaannya dia taruh tangannya di payudaraku dan meremas
dengan lembut.
“Hmmm. Oh, ya. Aku bisa merasakannya!”
Tangannya meluncur ke payudaraku yang satunya, lalu turun ke
perut, turun lagi hingga pahaku. aku gemetar menyadari kemungkinan kemana
sentuhannya akan bermuara. Namun tangannya terus meluncur turun, menuruni
pahaku dan melewati lutut. Lalu kurasakan dia melepaskan tali sandalku, satu
demi satu dilepaskannya. Lalu tangannya merayap naik kembali menelusuri pahaku,
menuju ujung atas dari stockingku. Dapat kurasakan diriku semakin bertambah
terangsang, kala dia lepas pengait stockingku dari garter belt. Berikutnya, kurasakan
stockingku ditarik lepas. Kuangkat kakiku untuk mempermudahnya. Seterlah
terlepas, kurasakan tangannya memegang pinggulku, melucuti garter belt yang
kupakai.
Apa yang terjadi padaku berikutnya membuatku sangat
terkejut. Kukatakan kalau aku mempercayainya, jadi saat Charles memegang
tanganku dan mulai membungkuskan salah satu stockingku pada pergelangan
tanganku, aku tak menolaknya. Bahkan saat dia mengaitkan stocking yang telah
terlilit pada salah satu tiang ranjang, aku hanya rebah diam merasa terkejut
dan penasaran. Baru saat dia melakukan hal yang sama dengan tanganku yang
satunya, barulah aku berkomentar.
“Charles. Aku tak begitu yakin dengan ini.”
“Manisku, kamu bilang mempercayaiku. Aku tak akan pergi
kemanapun. kamu aman.”
“Aku tahu. Hanya saja aku tak begitu yakin mau…”
“Tidak terlalu kencang, kan ?”
“Tidak. Kurasa tidak.” Kutarik ‘belengguku’ untuk
mengetesnya. Aku yakin jika kutarik dengan keras, itu akan mengendur, tapi
percobaan pertamaku membuatku kecut. Stockingnya melar, tapi tak banyak, lalu
kutarik lebih keras. Kali ini mereka tak bergeming. Charles telah mengunciku
dengan kuat melebihi perkiraanku. ASTAGA! Dia sudah menanyaiku tentang ini. Aku
rasa sudah menijinkannya, tapi akan lebih baik jika kita membicarakannya
terlebih dulu, untuk meyakinkan. Apa dia sudah merancanakan semuanya sampai
sejauh ini, ataukah ini hanya spontanitasnya saja, sesuatu yang diimpikannya?
Dia masih berdiri didekat kepala ranjang, tak diragukan
mengamatiku terentang dan terbelenggu. Kelihatannya puas dengan pekerjaan
tangannya, dia menjauh, menjalarkan tangannya disepanjang tubuhku saat dia
berlalu. Kurasa dapat kedengar nafasnya dan membayangkan betapa terangsangnya
dia, melihatku diatas ranjang, pergelangan tangan terlilit stocking, hanya
memakai boy-short mungil dan pasangan bra-nya. Gairahku sendiri bercampur
dengan emosi takut.
Tiba-tiba kudengar suara musik mengalun. Kurasa dari cable
system. Kali ini, Charles menemukan chanel yang lain. Sebuah mucik rock dengan
sayatan gitar elektrik dan dentuman suara drum. Sebuah musik yang menghentak.
Sebuah musik yang tak sudah pasti akan membuatku bergoyang, jika saja aku
berdiri bebas.
Kemudian dia kembali dan membungkuk diatasku. “Amanda, Kamu
terlihat begitu cantik. Bolehkah aku menciummu?” tanyanya minta ijin.
Kutelan ludah dengan grogi. “Kurasa tak banyak yang bisa
kulakukan untuk mencegahmu, jika aku mau.”
“Oh, Aku tak akan menciummu kalau kamu tak mau. Apa kamu
ingin kucium, manisku?”
“Ya. Ya. Aku ingin kamu menciumku,” rengekku lirih.
Bibir Charles sedikit terasa seperti cerutu, tapi semakin
lama dia menciumku, semakin aku tak peduli bagaimana rasa bibirnya. Aku semakin
terangasang dan terbakar diatas ranjang Charles, hampir telanjang bulat,
terbelenggu pada tiang ranjang sedangkan pria yang tak bisa kulihat, seorang
pria yang bukan suamiku, melumat mulutku yang terbuka. Aku ingin sebuah kontak.
Aku ingin dia naik keatas ranjang bersamaku. Semakin dekat, semakin baik.
Kugapai mulutnya dengan lidahku. Dia berikan mulutnya sebagai balasannya, dan
untuk beberapa menit, kubayangkan bahwa mulutku adalah vaginaku. menikmati cara
lidah panjang milik Charles merangsak begitu dalam.
Lalu kurasakan tangannya di payudaraku dan dia hentikan
ciumannya padaku. Dia singkap penutup dadaku dari tiap tiap daging payudaraku
dan membuatnya terpampang tanpa penghalang. Bisa kurasakan nafasnya, bibirnya
tentu berada sangat dekat dengan payudaraku. Apa dia sedang mengamati putingku?
Apa putingku mencuat keras? Sentuhlah, demi apapun! Aku ingin merasakan
sentuhannya. Aku membutuhkannya.
Tuhan tentu pasti mendengar do’a dan rintihan dari tubuh
telanjangku yang menggeliat, tak mampu menahan apa yang dilakukan Charles.
Apapun itu, dia mulai mencium payudaraku. Aku merinding saat lidahnya menyapu
ujung salah satu putingku. Kurasakan dia membawanya kedalam mulutnya dan
memberikan sebuah hisapan kuat yang panjang. Nafasku sesak. Aku basah.
Dia berikan perlakuan yang sama terhadap putting yang
satunya, menyentuh keduanya dengan lidah dan jarinya. Menghisap yang satu dan
memilin yang lainnya. Memencet mereka. Menggigit mereka. Menghisapnya kembali,
lagi dan lagi.
Aku mengerang untuk mendorongnya agar terus, aku sangat
terangsang. Tapi dia mengacuhkan payudaraku dan cumbuannya meluncur turun
menuju celana dalamku.Aku sadar betapa liarnya tubuhku menggelinjang sekarang.
Aku tak mampu rebah dan diam saja. Tangannya melata diatas selangkanganku dan
membelai vaginaku dibalik tirai berenda kecilku. Dan kemudian tangannya
menelusup ke dalam celana dalamku, ujung jarinya menggapai kewanitaanku yang
basah. Aku ingin dia mengakhiri godaannya terhadapku tapi dia kelihatannya tak
mau tergesa. Dia nikmati waktunya dalam melepas celana dalamku, menurunkannya
perlahan melewati pahaku hingga terlepas seutuhnya. Akhirnya, dia telah mempersiapkanku
untuk dia nikmati. Aku telah telanjang bulat, paha terentang. Seluruhnya
terpampang.
Serasa sang gitaris ikut larut dalam gairah menyaksikan
pemandangan seorang wanita telanjang bulat terikat tangannya pada tiang ranjang
hotel tersebut. Namun tiba-tiba dia memecahkannya dengan sebuah lengkingan solo
gitar dalam irama blues yang mendayu. Sang drummer, seluruh anggota band,
terdengar penuh semangat, ataukah Charles telah menggunakan remote control
untuk mengeraskan suaranya? Apakah dia masih berada di atas ranjang bersamaku?
“Charles?” kubutuh dengar suaranya untuk memastikan .
“Ya, Amanda?” kudengar suaranya datang dari ujung bawah
tempat ranjang.
Nafasku tersengal. “Aku menginginkanmu sayang,” jawabku.
“Aku juga menginginkanmu,” balasnya dan tiba-tiba dia sudah
berada diatas ranjang dan mulutnya berada diantara pahaku dan dia menjilati
vaginaku. Sekarang tak ada lagi kepura-puraan. Ini hal yang nyata!
“Oh, Tuhan!” lenguhku. Cairan birahiku mengalir ke lidahnya.
Aku ingin menyentuhnya, membelaikan jemariku ke rambutnya, atau hanya membelai
kulitnya, tapi tentu saja, stocking yang melilit pergelangan tanganku
menjadikannya tak mungkin. Kusentakkan lebih keras. Semakin dia menjilatiku,
semakin keras kusentakkan tanganku. Hanya sia-sia. Aku hanya bisa menggerakkan
kakiku, maka kurapatkan pahaku untuk merasakan bagian samping wajahnya dengan
pahaku saat dia memberiku kepuasan, menyapukan ujung lidahnya maju mundur pada
kelentitku.
Kemudian, secepat saat lidahnya menyentuh vaginaku, dengan
cepat pula dia menjauh, meloloskan dirinya dari jepitan pahaku. Sekujur tubuhku
bergetar hebat. Meradang untuk dimasuki. AKu ingin lidahnya, aku butuh
penisnya, apa saja!
“Charles, kumohon masukkan,” ibaku. “Kumohon setubuhi aku!”
Dia tak menjawab. Bukan dengan kata, melainkan, dengan satu
tangan dia angkat pinggangku dan menyelipkan sebuah bantal di bawah pantatku.
Kugigit bibirku, mengharap, membuka pahaku semakin lebar dan menarik nafas
panjang. Dan sebelum kumampu hembuskan nafas, dia sudah berada di dalamku.
Seluruh batang penisnya tiba-tiba menghujamku, begitu dalam, hanya dengan satu
tusukan, seluruhnya terkubur di dalam vaginaku. Aku memekik. Itu begitu
tiba-tiba. Tak seperti dia biasanya. Tapi sungguh terasa nikmat, terisi dengan
batang penis gemuknya, yang begitu keras. Begitu dalam. Kuangkat pantatku ke
atas untuk menyambut sentakannya, sekeras yang kubisa dan segera saja kami
saling menyetubuhi, saling mengayun, menghentak.
Sebagai seorang yang buta sementara ini, bagaimanapun
telingaku berperan menjadi jendelaku dan kusimak setiap suara, kecil maupun
besar. Dentuman irama suara bass terdengar konstant dikejauhan. Suara nafas
yang berat dari pria diatas tubuhku. Suara daging basah yang saling beradu,
meluncur berirama. Suara derit ranjang saat kuterus coba meronta lepas dari
belenggu dan suara rintihan pelan dari kasur dibawah tubuh kami kala saling
menyetubuhi.
Dalam campuran pengaruh mariyuana dan alkohol yang merasuki
alam anganku, batang penis Charles terasa lebih besar dan lebih keras dari yang
pernah kurasakan sebelumnya. Bagaimana vaginaku bisa membuka diri untuk
menampung batang penis seukuran itu? Bagaimana dia bisa memasukkan seluruh
batangnya ke dalam vaginaku hanya dalam sekali tusukan saja? Setiap kali
kuangkat patatku untuk menyambut sentakannya, dia akan menariknya hingga hampir
seluruhnya dan itu terasa seakan aku tergantung diudara untuk sekian lama
sebelum dia mengisiku kembali, menghempaskan pantatku ke atas ranjang lagi.
“Ohhhh, Tuhan!” aku menjerit. Mulutnya kembali pada payudaraku,
menghisapnya kala kami kembali mengayun. Rasanya menakjubkan. Tapi terasa lebih
menakjubkan adalah perasaan setelah dia mencabutnya keluar dari dalam tubuhku,
hanya untuk menusukkan jauh ke dalam tubuhku beberapa saar kemudian. Dia benar,
dia menyimpan dirinya untukku. Atau ini sebuah kombinasi antara gairah dan
viagra, aku tak tahu. Aku hanya tahu kalau ini semua sangat menggairahkan! Dia
tentu telah menyetubuhiku untuk ketiga atau keempat kalinya malam itu dan
setiap kalinya dia terasa lebih dan jauh lebih bernafsu. Kakiku, tak seperti
kedua lenganku, dalam keadaan bebas. jadi setiap kali dia menusukku, kukaitkan
kedua kakiku ke tubuhnya dan menahannya tetap berada dalam tubuhku selama yang
kubisa. Perasaan terhubung dengan batang penis besarnya adalah sesuatu yang ku
tak ingin berakhir.
Aku ingat betapa aku menikmati bercinta saat berada dibawah
pengaruh ganja. Itu merangsak seluruh panca inderaku dengan cepat kala kuberada
di atas ranjang tersebut, menerima batang keras milik Charles. Aku melayang
tinggi akan kedua tubuh kami yang terhubungkan malam itu. Aku teringat akan
semua pria yang pernah memasukiku selama ini, dari kekasih masa sekolahku,
hingga Kevin dan Charles sekarang. Mereka semua seakan menyetubuhiku malam ini.
Bahkan aku berilusi sedang disetubuhi oleh pria yang hanya hadir dalam
fantasiku saja.
Terasa begitu nyata. Kala Richard menyetubuhiku, hampir bisa
kuhirup aroma mariyuana dalam hembusan nafasnya.
Dan kala Peter menyetubuhiku, aku bisa merasakan dia
menggerakkan pinggulnya begitu mengalir, seperti cara dia bergerak diatas
lantai dansa.
Akhirnya, Charles menahan penisnya tetap berada dalam
tubuhku saat dia berejakulasi. Kali ini dia rubuh diatasku, mencoba mengatur
nafasnya dan mencumbui payudaraku.
“Ohhh, sayang,” desahku. “Kamu begitu menakjubkan.” Kedua
kakiku kubiarkan tetap mengait tubuhnya erat hingga akhirnya dia melepaskan
penutup mataku dan melepas belenggu tanganku.
Kujatuh tertidur dalam pelukannya malam itu dan tetap dalam
pelukannya kala terbangun di Minggu paginya.
Kusegarkan tubuhku dalam kamar mandi di kamar Charles,
seperti permintaannya.Kubiarkan pintunya terbuka, mungkin saja dia ingin ikut
bergabung, atau hanya menyaksikan saja. Aku tak mengharapkan sebuah permainan
di pagi ini, tidak lagi setelah Sabtu malam tadi.
Berdua kami nikmati sarapan dari room service yang lezat dan
kemudian Charles mengatur agar Richard mengantarkanku ke bandara nantinya. Itu
memberiku banyak waktu untuk kembali ke kamarku dan memilih, apa saja yang
ingin kubawa pulang. Ada beberapa
gaun yang kutinggalkan untuk para cleaning crew agar mereka melongo, salah
satunya lebih mencengangkan dibandingkan yang kupakai untuk pesta tadi malam.
Kuambil beberapa pasang pakaian dalam, salah satunya yang kuyakin akan membuat
Kevin merasa senang jika kukenakan.
Richard seorang teman yang menyenangkan, seperti yang dia
lakukan sepanjang akhir pekan ini, termasuk telah menawari untuk menemaniku
pulang. Tapi aku sedang merasa ingin pergi sendiri saja, jadi kutolak
tawarannya.
Saat di bandara, kuulurkan tangan untuk menjabat angannya,
tapi dia malah memberiku sebuah pelukan erat.
“Kuharap kamu akan kembali lagi tahun depan. Sangat
menyenangkan menemanimu,” ucapnya.
Penerbangan pulang terasa menyenangkan. Cuacanya cerah. Tak
ada orang yang menjengkelkan disampingku atapun didekatku. Jadi aku punya
banyak waktu untuk memikirkan setiap peristiwa selama akhir pekan ini, semua
orang yang kujumpai, makanan yang lezat, perjalanan ke kebun binatang,
dansanya, menjadi tinggi, ditutup mata, diikat, disetubuhi, ahhh, ya! Agar
disetubuhi. Itulah alasan pertamaku kenapa aku memutuskan untuk terbang kemari,
bukankah begitu? Untuk bersetubuh dan disetubuhi? Sebuah perjalanan jauh hanya
demi seks. Aku pasti sudah tak waras
Author : Unknown
( Bagi yang tau siapa penulis aslinya, silakan kontak gw,
supaya bisa gw lampirkan ^^ )

No comments:
Post a Comment